Sebuah kebahagiaan yang mungkin tak bisa diungkapkan dengan kata-kata manakala orang tua mendapati di hari tuanya perlakuan yang demikian istimewa dari anak-anaknya. Ketika ia mulai lemah dan mungkin sakit-sakitan, anak-anaknya dengan sabar dan penuh perhatian memberikan perawatan kepadanya. Ini semua tentu tidak didapat begitu saja, namun melalui pendidikan dan perjuangan yang panjang dari orang tua tersebut agar anak-anaknya tumbuh menjadi anak yang shalih dan berbakti pada orang tuanya.
Sesosok anak tidak akan dapat terlepas dari ayah dan ibunya. Bagaimanapun keadaannya, ia adalah bagian dari diri keduanya. Dia adalah darah daging keduanya. Rahim ibu adalah tempat buaiannya yang pertama di dunia ini. Air susunya menjadi sumber makanan yang menumbuhkan jasadnya. Kasih sayang ibu adalah ketenangan yang selalu dia rindukan. Kerelaan ibu untuk berjaga membuat nyenyak tidurnya. Kegelisahan ibu menyisakan kebahagiaan untuknya.
Timangan sang ayah dirasakan sebagai kekokohan. Perasan keringat ayah memberikan rasa kenyang dan hangat bagi dirinya. Doa-doa yang mereka panjatkan menjadi sebab segala kebaikan yang didapatinya. Tak terhingga dengan hitungan jemari untuk merunut kembali segala kebaikan yang mereka curahkan untuk buah hati mereka.
Allah ‘U menjadikan hak bagi kedua orang tua untuk diberikan bakti, kelembutan, penjagaan dan kasih sayang, dan Allah kuatkan hak ini dengan mengiringkannya setelah hak-Nya I, karena hak orang tua mengandung pemuliaan dan pengagungan. Bahkan di dalam Kitab-Nya yang mulia termaktub berbilang ayat yang memberikan wasiat dan mendorong untuk berbakti kepada orang tua, serta menjanjikan banyak kebaikan bagi seorang yang berbakti dan mengancam dengan balasan yang akan menimpa orang yang mendurhakai ayah bundanya. (Wa bil Walidaini Ihsana, hal. 11)
Di antara sekian banyak ayat, Allah I berfirman:
“Dan beribadahlah kepada Allah, dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.” (An-Nisa: 36)
Dalam kalam-Nya ini, Allah I memerintahkan untuk beribadah hanya kepada-Nya semata dan tidak menyekutukan-Nya, karena Dialah Al-Khaliq (Yang Menciptakan), Ar-Raziq (Yang Memberikan Rizki), Al-Mun’im (Yang Memberikan Nikmat), yang memberikan keutamaan kepada makhluk-Nya setiap saat dan setiap keadaan. Oleh karena itu, Dialah yang berhak untuk diesakan dan tidak disekutukan dengan sesuatu pun dari kalangan makhluk-Nya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah r kepada Mu’adz bin Jabal z:
“Tahukah engkau, apa hak Allah atas hamba-Nya?” Mu’adz menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Kemudian beliau berkata lagi, “Tahukah engkau, apa hak hamba atas Allah bila mereka melaksanakannya? Allah tidak akan mengadzab mereka.” 1
Setelah itu, Allah I mewasiatkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, karena Allah jadikan keduanya sebagai sebab keluarnya seseorang dari ketiadaan menjadi ada. (Tafsir Ibnu Katsir, 2/213)
Oleh karena itu, semestinya semenjak dini kedua orang tua mulai menanamkan hal ini kepada putra-putri mereka, mengiringi pengajaran tentang keimanan terhadap Rabb mereka. Inilah pula yang dilakukan oleh Luqman yang mengiringi wasiatnya kepada anaknya untuk beribadah kepada Allah semata dengan wasiat untuk berbuat baik kepada kedua orang tua.
“Dan Kami wasiatkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan payah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)
Allah I memerintahkan untuk bersyukur kepada-Nya dengan melaksanakan peribadahan kepada-Nya serta menunaikan hak-hak-Nya, dan tidak menggunakan nikmat-nikmat yang dianugerahkan-Nya untuk bermaksiat pada-Nya. Allah I juga memerintahkan untuk bersyukur kepada kedua orang tua dengan berbuat baik kepada keduanya. Hal ini dilakukan dengan berucap lemah lembut, melakukan perbuatan yang baik, dan merendahkan diri terhadap mereka. Juga dengan memuliakan dan menanggung kebutuhan hidupnya, serta tidak menyakiti mereka dengan cara apa pun, baik dengan ucapan atau pun perbuatan. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 648)
Di dalam ayat ini pula Allah I menyebut tentang pendidikan seorang ibu, kesulitan dan kesusahannya ketika harus berjaga siang dan malam. Penyebutan ini untuk mengingatkan anak tentang kebaikan seorang ibu yang telah diberikan kepadanya sebagaimana tersebut dalam firman Allah:
“Dan ucapkanlah doa: Wahai Rabbku, kasihilah kedua orang tuaku sebagaimana mereka telah mendidikku semenjak kecilku.” (Al-Isra: 24) (Tafsir Ibnu Katsir, 6/192)
Kemudian Allah I memberikan pengajaran, bagaimana semestinya seorang anak bersikap terhadap kedua orang tuanya yang musyrik:
“Dan apabila keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak memiliki ilmu tentangnya, maka jangan engkau ikuti keduanya, dan pergaulilah mereka berdua di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Aku kabarkan padamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 15)
Janganlah seseorang menyangka bahwa hal ini (mentaati perintah orang tua dalam kejelekan) termasuk kebaikan terhadap orang tua, karena hak Allah lebih diutamakan daripada hak siapa pun juga, dan tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam kemaksiatan terhadap Al-Khaliq.
Allah I tidak mengatakan, “Apabila mereka berdua memaksamu untuk menyekutukan Aku dengan sesuatu yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya, maka durhakailah keduanya.” Bahkan Allah Imengatakan, “Jangan engkau ikuti mereka dalam perbuatan syirik mereka.”
Adapun berbakti terhadap mereka, maka engkau harus terus melakukannya. Oleh karena itulah Allah berfirman (), yaitu pergaulilah mereka di dunia ini dengan penuh kebaikan. Adapun mengikuti mereka sementara mereka berkubang dalam kekufuran atau kemaksiatan, maka hal itu janganlah engkau lakukan. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 648)
Sementara itu, Rasulullah r banyak menyebutkan tentang ancaman durhaka kepada kedua orang tua. Bahkan beliau nyatakan bahwa hal itu termasuk dosa besar. Abu Bakrah z menyampaikan ucapan beliau ini:
“Tidakkah kalian ingin aku kabarkan tentang dosa besar yang paling besar?” Kami menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau pun berkata tiga kali, “Menyekutukan Allah dan durhaka terhadap kedua orang tua.” Semula beliau dalam keadaan bersandar, lalu beliau pun bangkit duduk dan mengatakan, “Ketahuilah, ucapan dusta dan saksi palsu! Ketahuilah, ucapan dusta dan saksi palsu!” Beliau terus-menerus mengatakan hal itu hingga aku berkata, “Andaikan beliau diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5976 dan Muslim no. 87)
Abu Hurairah z pun meriwayatkan dari Nabi r tentang ancaman beliau:
“Nista dan hinanya! Nista dan hinanya! Nista dan hinanya!” Beliau pun ditanya, “Siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seseorang yang mendapati salah seorang atau kedua orang tuanya dalam keadaan lanjut usia, namun dia tidak masuk ke dalam surga.” (HR. Muslim no. 2551)
Ucapan Rasulullah r ini merupakan dorongan untuk berbakti kepada orang tua serta menunjukkan besarnya pahala amalan itu. Di dalam ucapan beliau r tersebut didapati makna bahwa berbakti kepada kedua orang tua pada saat mereka telah lanjut usia dan lemah, dengan mencurahkan khidmat (pelayanan), nafkah ataupun lainnya merupakan sebab masuknya seseorang ke dalam surga. Barangsiapa yang meremehkannya, maka dia akan terluput dari masuk surga dan dihinakan oleh Allah I. (Syarh Shahih Muslim, 16/109)
Sebuah kisah tentang bakti seorang anak kepada orang tuanya, yang amalan itu dapat melepaskannya dari belenggu musibah yang menimpa, disampaikan oleh Abdullah bin ‘Umar c dari Rasulullah r:
Ada tiga orang yang sedang dalam perjalanan. Tiba-tiba turun hujan menimpa mereka hingga mereka pun berteduh di dalam gua di sebuah gunung. Ketika mereka berada di dalam gua, runtuhlah sebuah batu besar dari gunung di mulut gua hingga menutupi mereka. Maka ada di antara mereka yang berkata kepada temannya, “Lihatlah amalan shalih yang pernah kalian kerjakan karena Allah, lalu mohonlah kepada Allah dengan amalan tersebut. Semoga dengan itu Allah akan memberikan jalan keluar kepada kalian.” Maka salah seorang di antara mereka berdoa, “ Ya Allah, sesungguhnya aku memiliki dua orang tua yang telah renta, dan aku pun memiliki istri dan anak-anak kecil. Aku biasa menggembala kambing-kambing untuk mereka. Apabila aku telah membawa pulang kambing-kambingku, aku biasa memerah susu dan aku awali dengan memberikan minum kepada kedua orang tuaku sebelum memberikannya kepada anak-anakku. Suatu ketika aku terlalu jauh menggembala sehingga belum juga pulang sampai sore hari, hingga kudapati mereka berdua telah tidur. Maka aku pun memerah susu sebagaimana biasa. Kemudian aku datang membawa susu perahan itu dan berdiri di sisi kepala ayah ibuku. Aku tak ingin membangunkan mereka berdua dari tidurnya dan aku pun tak ingin memberi minum anak-anakku sebelum mereka berdua, sementara anak-anakku menangis kelaparan di sisi kedua kakiku. Terus menerus demikian keadaanku dengan mereka hingga terbit fajar. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa aku lakukan semua itu untuk mengharap wajah-Mu, berikanlah jalan keluar dari batu itu hingga kami dapat melihat langit.” Maka Allah pun memberikan kepada mereka kelapangan hingga mereka dapat melihat langit kembali…” (HR. Al-Bukhari no. 2215 dan Muslim no. 2743)
Kisah ini menunjukkan gambaran keutamaan berbakti kepada kedua orang tua, keutamaan melayani dan mendahulukan mereka berdua dari yang lainnya, baik anak-anak, istri dan selain mereka. (Syarh Shahih Muslim, 17/56)
Bila demikian keadaannya, adakah hati orang tua yang tidak tergerak untuk mendidik anak-anak mereka agar berbakti kepada ayah bundanya? Adakah orang tua yang akan membiarkan anak-anak mereka berkubang dalam kedurhakaan sehingga mendapati balasan yang nista? Tidakkah mereka ingin anak-anak mereka seperti gambaran seorang Abu Hurairah yang memberikan salam kepada ibunya:
“Keselamatan atasmu, serta rahmah dan barakah Allah, wahai Ibunda!” Ibunya pun menjawab, “Dan keselamatan pula atasmu, serta rahmah dan barakah Allah.” Dia berkata lagi, “Semoga Allah mengasihimu, wahai Ibu, sebagaimana engkau telah mendidikku semasa kecilku.” Ibunya membalas, “Wahai anakku! Dan engkau juga, semoga Allah memberi balasan yang baik dan meridhaimu sebagaimana engkau telah berbakti kepadaku pada masa tuaku.” (Dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani: hasanul isnad dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 11)
Betapa banyak kisah yang terhimpun dalam Kitabullah dan kalam Rasulullah r yang dapat disampaikan kepada anak-anak, yang berbicara tentang keutamaan berbakti kepada kedua orang tua dan ancaman bagi seorang yang durhaka terhadap keduanya. Semogalah mereka memetik banyak faidah yang akan mendorong mereka untuk mempersembahkan kebaikan kepada ayah bundanya.
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
1 HR. Al-Bukhari no. 5967 dan Muslim no. 30
Dari artikel 'Fatwa Ulama: Peringatan Hari Ibu — Muslim.Or.Id'
Peringatan hari kelahiran, baik kelahiran Nabi (Maulid Nabi), kelahiran ulama, kelahiran raja, kelahiran pemimpin, semua termasuk perayaan yang tidak dituntunkan dalam Islam. Allah tidaklah pernah menurunkan ajaran itu semua. Kelahiran yang paling diagungkan adalah kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun tidak ada satu keterangan dari beliau sendiri, begitu pula dari Khulafaur Rosyidin, begitu pula dari para sahabat, para tabi’in dan orang-orang yang berada di kurun terbaik bahwa mereka memperingati kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Peringatan ini termasuk amalan yang dibuat-buat yang baru muncul setelah kurun terbaik dari umat Islam (masa sahabat dan tabi’in, -pen), yang direka-reka oleh orang yang tidak berilmu. Mereka hanya mengikuti Nashrani yang memperingati hari kelahiran Isa Al Masih ‘alaihis salam. Nashrani telah membuat-buat ajaran yang sebenarnya tidak diajarkan oleh agama mereka sendiri. Isa Al Masih ‘alaihis salam tidaklah pernah menganjurkan untuk memperingati hari kelahirannya sendiri. Jadi, Nashrani hanya mereka-reka, lantas hal ini diikuti oleh kaum muslimin selepas kurun terbaik dari umat Islam (yaitu generasi para sahabat).
Intinya, peringatan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sama dengan yang diperingati oleh Nashrani dalam acara Natal (kelahiran ‘Isa), itu semua hanyalah perkara yang tidak ada tuntunan. Karena para Nabi tidaklah pernah memerintahkan pada umatnya untuk memperingati hari kelahiran mereka. Yang diperintahkan pada umat mereka adalah untuk mengikuti petunjuk para Nabi tersebut yaitu mengikuti syari’at Allah. Inilah yang dituntunkan.
Adapun peringatan hari kelahiran (termasuk pula peringatan hari Ibu yang ditanyakan, -pen), kesemuanya hanyalah membuang-buang waktu dan harta, dan hanya menghidupkan amalan yang tidak dianjurkan dalam Islam. Ini semua hanya akan membuat umat Islam berpaling dari ajaran Islam yang dituntunkan. Wallahul musta’an. (*)
السؤال :
ما حكم الشرع في نظركم بالاحتفال بعيد الأم وأعياد الميلاد وهل هي بدعة حسنة أم بدعة سيئة؟
الجواب :
الاحتفال بالموالد سواء مواليد الأنبياء أو
مواليد العلماء أو مواليد الملوك والرؤساء كل هذا من البدع التي ما أنزل
الله تعالى بها من سلطان وأعظم مولود هو رسول الله صلى الله عليه وسلم ،
ولم يثبت عنه ولا عن خلفائه الراشدين ولا عن صحابته ولا عن التابعين لهم
ولا عن القرون المفضلة أنهم أقاموا احتفالاً بمناسبة مولده صلى الله عليه
وسلم ، وإنما هذا من البدع المحدثة التي حدثت بعد القرون المفضلة على يد
بعض الجهال، الذين قلدوا النصارى باحتفالهم بمولد المسيح عليه السلام،
والنصارى قد ابتدعوا هذا المولد وغيره في دينهم، فالمسيح عليه السلام لم
يشرع لهم الاحتفال بمولده وإنما هم ابتدعوه فقلدهم بعض المسلمين بعد مضي
القرون المفضلة.
فاحتفلوا بمولد محمد صلى الله عليه وسلم كما
يحتفل النصارى بمولد المسيح، وكلا الفريقين مبتدع وضال في هذا؛ لأن
الأنبياء لم يشرعوا لأممهم الاحتفال بموالدهم، وإنما شرعوا لهم الاقتداء
بهم وطاعتهم واتباعهم فيما شرع الله سبحانه وتعالى، هذا هو المشروع.
أما هذه الاحتفالات بالمواليد فهذه كلها من إضاعة الوقت، ومن إضاعة المال، ومن إحياء البدع، وصرف الناس عن السنن، والله المستعان.
Dari artikel 'Fatwa Ulama: Peringatan Hari Ibu — Muslim.Or.Id'
0 komentar:
Posting Komentar