Dalam Tanzil-Nya yang mulia, Allah k berfirman:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun maka bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu dan hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)
Di tempat lain, Dia Yang Maha Suci berfirman:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua
orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan
melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya sampai menyapihnya
adalah tiga puluh bulan….” (Al-Ahqaf: 15)
Dua ayat yang mulia di atas berisi perintah berbakti kepada
orangtua sebagai suatu kewajiban dalam agama yang mulia ini. Bahkan
Allah k menggandengkan perintah berbakti ini dengan perintah beribadah
kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun. Seperti dalam
ayat:
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah menyekutukan-Nya
dengan sesuatupun serta berbuat baiklah kepada kedua orangtua.”
(An-Nisa`: 36)
Ayah dan ibu berserikat dalam hal memiliki hak terhadap anaknya
untuk memperoleh bakti. Hanya saja ibu memiliki bagian dan porsi yang
lebih besar dalam hal beroleh bakti. Karena Nabi n bersabda ketika
ditanya oleh seorang sahabatnya:
يَا رَسُولَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِيْ؟
قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟
قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوْكَ
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk
kupergauli dengan baik?” Beliau berkata, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali
bertanya, “Kemudian siapa?” “Ibumu”, jawab beliau. “Kemudian siapa?”,
tanya laki-laki itu. “Ibumu”, jawab beliau. “Kemudian siapa?” tanyanya
lagi. “Kemudian ayahmu”, jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan
Muslim no. 6447)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t berkata menukilkan ucapan Ibnu
Baththal t, “Kandungan hadits ini adalah seorang ibu memiliki hak untuk
mendapatkan kebaikan yang disebutkan tiga kali daripada hak seorang
ayah.” Ibnu Baththal juga mengatakan, “Yang demikian itu diperoleh
karena kesulitan yang didapatkan saat mengandung, kemudian melahirkan
lalu menyusui. Tiga perkara ini dialami sendiri oleh seorang ibu dan ia
merasakan kepayahan karenanya. Kemudian ibu menyertai ayah dalam
memberikan tarbiyah (pendidikan kepada anak). Isyarat akan hal ini
terdapat dalam firman Allah l:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbakti kepada) kedua
orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.” (Luqman: 14)
Allah l menyamakan antara ayah dan ibu dalam mendapatkan bakti, dan
Dia mengkhususkan ibu dengan tiga perkara (mengandung, melahirkan, dan
menyusui).” (Fathul Bari, 10/493)
Al-Imam An-Nawawi t menyatakan, “Dalam hadits ini ada hasungan
untuk berbuat baik kepada kerabat1. Ibu adalah yang paling berhak
mendapatkan bakti di antara kerabat yang ada, kemudian ayah, kemudian
kerabat yang terdekat. Ulama berkata, ‘Sebab didahulukannya ibu adalah
karena banyaknya kepayahan yang dialaminya dalam mengurusi anak. Di
samping karena besarnya kasih sayangnya, pelayanannya, kepayahan yang
dialaminya saat mengandung si anak, kemudian saat melahirkannya,
menyusuinya, mendidiknya, melayaninya, mengurusi/merawatnya tatkala
sakit dan selainnya’.” (Al-Minhaj, 16/318)
Al-Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di t berkata
dalam tafsirnya terhadap surah Al-Ahqaf ayat 15, “Ini merupakan
kelembutan Allah l terhadap hamba-hamba-Nya dan kesyukuran-Nya kepada
kedua orangtua. Di mana Dia mewasiatkan kepada anak-anak agar berbuat
baik kepada kedua orangtua mereka dengan menujukan kepada keduanya
perkataan yang lembut, kalimat yang lunak/halus, memberikan harta dan
nafkah serta sisi-sisi kebaikan lainnya. Kemudian Allah l memberikan
peringatan dengan menyebutkan sebab seorang anak harus berbuat baik
kepada orangtuanya. Dia menyebutkan kesulitan-kesulitan yang
ditanggung/dipikul oleh seorang ibu saat mengandung anaknya, kemudian
kesulitan yang besar saat melahirkannya, lalu kepayahan menyusuinya dan
memberikan pelayanan dalam mengasuhnya. Kesulitan dan kepayahan yang
disebutkan ini dihadapi bukan dalam masa yang pendek/singkat, sejam atau
dua jam. Tapi dihadapi dalam kadar masa yang panjang “tiga puluh
bulan”, masa kehamilan selama sembilan bulan atau sekitarnya dan waktu
yang tersisa untuk masa penyusuan. Ini yang umum terjadi. Ayat ini
dengan firman-Nya:
“Dan para ibu hendaknya menyusui anak-anak mereka selama dua tahun yang sempurna.” (Al-Baqarah: 233)
dijadikan sebagai dalil untuk menyatakan bahwa minimal masa
kehamilan itu enam bulan. Karena masa menyusui (sebagaimana dinyatakan
dalam ayat di atas, pent.) lamanya dua tahun (24 empat bulan, pent.).
Bila diambil dua tahun (24 bulan, pent.) dari masa 30 bulan tersisalah
enam bulan sebagai masa kehamilan.” (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 781)
Dari ayat, hadits dan penjelasan di atas tampaklah bagi kita peran
agung seorang ibu. Ia telah mengandung anaknya selama sembilan bulan
lebih beberapa hari, dengan kepayahan, keberatan, dan kesulitan. Tiba
saat melahirkan, ia pun berjuang menghadapi maut. Sakit yang sangat pun
dialaminya untuk mengeluarkan buah hatinya ke dunia. Tidak sampai di
situ, setelah si anak lahir dengan penuh kasih disusuinya kapan saja si
anak membutuhkan. Tak peduli siang ataupun malam sehingga harus menyita
waktu istirahatnya. Kelelahan demi kelelahan dilewatinya dengan penuh
kesabaran dan lapang dada, demi sang permata hati …
Demikianlah. Sehingga pantaslah syariat yang suci ini memberinya
pemuliaan dengan memerintahkan anak agar berbakti kepadanya, selain
kepada sang ayah. Bakti ini terus diberikan sampai akhir hayat keduanya.
Bahkan juga sepeninggal keduanya, dengan menyambung silaturahim dan
berbuat baik kepada sahabat/orang-orang yang dikasihi keduanya. Karena
Rasulullah n bersabda:
إِنَّ أَبَرَّ البِرِّ أَنْ يَصِلَ الرَّجُلُ وُدَّ أَبِيْهِ
“Sesungguhnya berbuat baik yang paling baik adalah seseorang
menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi ayahnya.” (HR. Muslim no.
6461)
Abdullah bin ‘Umar c yang meriwayatkan hadits di atas dari
Rasulullah n mencontohkan pengamalan hadits ini dengan perbuatannya.
Disebutkan, ada seorang Arab gunung bertemu dengan Abdullah di jalanan
Makkah. Abdullah mengucapkan salam kepadanya, lalu menyerahkan keledai
yang ditungganginya agar dinaiki oleh orang tersebut dan memberinya
sorban yang semula dipakainya. Ibnu Dinar, seorang perawi hadits ini
bertanya kepada Abdullah, “Semoga Allah memperbaikimu! Mereka itu orang
gunung (A’rab) dan mereka sudah cukup senang dengan pemberian yang
sedikit.” Abdullah berkata menjelaskan sebab ia berbuat demikian kepada
si A’rabi, “Ayah orang Arab gunung itu dulunya sahabat yang dikasihi
oleh ‘Umar ibnul Khaththab. Sementara aku pernah mendengar Rasulullah n
bersabda, ‘Sesungguhnya berbuat baik yang paling baik adalah seorang
anak menyambung hubungan dengan orang yang dikasihi ayahnya’.” (HR.
Muslim no. 6460)
Satu lagi atsar yang menunjukkan keutamaan berbakti kepada ibu.
Diriwayatkan dari ‘Atha` bin Yasar, dari Ibnu ‘Abbas c, ada seseorang
datang kepada Ibnu Abbas seraya berkata, “Aku telah meminang seorang
wanita, namun wanita itu menolak untuk menikah denganku. Kemudian ada
lelaki lain yang meminangnya dan ternyata ia senang menikah dengan
lelaki tersebut. Aku pun cemburu hingga membawaku membunuh wanita
tersebut. Lalu, adakah taubat untukku?” Ibnu Abbas c bertanya, “Apakah
ibumu masih hidup?”
“Tidak,” jawab lelaki tersebut.
“Bertaubatlah kepada Allah k dan taqarrub-lah (mendekat dengan melakukan amal shalih) kepada-Nya semampumu.”
‘Atha` bin Yasar berkata, “Aku pergi lalu bertanya kepada Ibnu
‘Abbas, ‘Kenapa engkau menanyakan tentang kehidupan ibunya (masih hidup
atau tidak)?’.”
Ibnu ‘Abbas c menjawab, “Sungguh aku tidak mengetahui adanya suatu
amalan yang lebih mendekatkan kepada Allah k daripada berbakti kepada
ibu.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari t dalam Al-Adabul Mufrad dan
dishahihkan dalam Ash-Shahihah no. 2799)
Karena berbakti kepada orangtua –khususnya ibu yang sedang menjadi
pembicaraan kita– telah diperintahkan oleh agama Islam, maka kita tidak
membutuhkan perayaan Hari Ibu untuk mengenang jasa-jasa seorang ibu dan
menjadikannya sebagai momen untuk memberi hadiah-hadiah kepada ibu. Atau
memberikan perhatian khusus kepadanya dan meng-’istirahat’-kannya dari
pekerjaan pada hari tersebut. Seorang anak, dalam Islam, harus berbuat
baik kepada ibunya kapan pun. Di setiap waktu dan di setiap keadaan,
tanpa menunggu datangnya Hari Ibu yang justru merupakan suatu perayaan
yang diada-adakan tanpa perintah dari agama. Bahkan semata taklid kepada
budaya Barat yang memang tidak mengenal istilah ‘berbakti kepada
orangtua’ dalam budaya mereka.
Contoh Anak yang Berbakti
Abu Hurairah z dikenal sebagai seorang yang berbakti kepada ibunya
dan tidak melupakan untuk meminta ampun bagi ibunya bila ia beristighfar
kepada Allah l. Muhammad bin Sirin t berkata, “Kami sedang berada di
sisi Abu Hurairah pada suatu malam. Saat itu Abu Hurairah berdoa, ‘Ya
Allah, ampunilah Abu Hurairah dan ibuku, serta ampunilah orang yang
memintakan ampun untuk Abu Hurairah dan ibunya’.” Muhammad berkata,
“Maka kami pun memintakan ampun untuk keduanya agar kami dapat masuk
dalam doa Abu Hurairah.” (Diriwayatkan Al-Bukhari t dalam Al-Adabul
Mufrad no. 37 dan dishahihkan sanadnya oleh Al-Albani t dalam Shahih
Al-Adabil Mufrad)
Sebelumnya, ibu Abu Hurairah enggan masuk Islam. Abu Hurairah
berkisah, “Aku mengajak ibuku yang masih musyrik untuk masuk Islam.
Suatu hari aku mendakwahinya maka ia memperdengarkan kepadaku ucapan
yang kubenci tentang Rasulullah n. Aku mendatangi Rasulullah n dalam
keadaan menangis. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah! Aku mengajak ibuku
masuk Islam namun ia menolak. Suatu hari aku mendakwahinya, namun ia
memperdengarkan kepadaku ucapan yang kubenci tentangmu. Maka doakanlah
kepada Allah l agar memberi hidayah kepada ibu Abu Hurairah.’ Rasulullah
n pun berdoa:
اللَّهُمَّ اهْدِ أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ
“Ya Allah, berilah hidayah kepada ibu Abi Hurairah.”
Aku pun keluar dalam keadaan gembira dengan doa Nabiullah n. Ketika
tiba di rumah, aku menuju pintu yang ternyata sedang tertutup. Ibuku
mendengar suara gesekan dua telapak kakiku di tanah, maka ia berkata,
“Tetaplah di tempatmu, wahai Abu Hurairah.” Aku mendengar suara
gerakan/percikan air. Ternyata ibuku mandi, lalu mengenakan pakaian dan
kerudungnya. Setelahnya ia membuka pintu, kemudian berkata, “Wahai Abu
Hurairah! Aku bersaksi Laa ilaaha illallah dan bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba dan Rasul-Nya.” Aku pun kembali menemui Rasulullah n dalam
keadaan menangis karena bahagia. Aku berkata, “Wahai Rasulullah!
Bergembiralah, sungguh Allah l telah mengabulkan doamu dan memberi
hidayah kepada ibu Abu Hurairah.” Beliau pun memuji Allah k dan
menyanjung-Nya. (HR. Muslim no. 6346)
Ada lagi seorang tokoh tabi’in yang dikenal sangat berbakti kepada
ibunya. Dia adalah Uwais Al-Qarani t. Rasulullah n bersabda tentangnya
kepada ‘Umar ibnul Khaththab z, “Suatu saat nanti akan datang kepada
kalian Uwais bin ‘Amir bersama rombongan pasukan penduduk Yaman. Dia
berasal dari kabilah Murad, dari Qaran. Dulu dia terkena penyakit
belang, lalu dia disembuhkan dari penyakitnya itu, kecuali sebesar
dirham di pusarnya. Dia memiliki seorang ibu dan sangat berbakti
kepadanya. Kalau dia bersumpah kepada Allah, pasti Allah l kabulkan
sumpahnya. Kalau engkau bisa memintanya agar memohonkan ampun untukmu
maka lakukanlah2.” (HR. Muslim no. 6439)
Haramnya Durhaka kepada Ibu
Perintah berbakti kepada ibu telah jelas bagi kita. Kebalikan dari
berbakti adalah berbuat durhaka. Rasulullah n melarang perbuatan durhaka
ini, dalam hadits beliau n:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ الْأُمَّهَاتِ…
“Sesungguhnya Allah mengharamkan bagi kalian berbuat durhaka kepada para ibu….” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 4457)
Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Durhaka kepada ibu adalah haram dan
termasuk dosa besar, menurut kesepakatan ulama. Betapa banyak hadits
shahih yang memasukkannya ke dalam dosa besar. Demikian pula berbuat
durhaka kepada ayah termasuk dosa besar. Dalam hadits ini dibatasi
penyebutan durhaka kepada ibu (tanpa menyebutkan durhaka kepada ayah)
karena kehormatan mereka (para ibu) lebih ditekankan daripada ayah.
Karenanya, ketika ada yang bertanya kepada Rasulullah n tentang siapakah
yang paling berhak mendapatkan kebaikannya, Rasulullah n menjawab,
“Ibumu kemudian ibumu”, sebanyak tiga kali. Setelah itu, pada kali yang
keempat beliau baru menyebutkan, “Kemudian ayahmu.” Juga karena
kebanyakan perbuatan durhaka dari anak diterima/dirasakan oleh para
ibu.” (Al-Minhaj, 11/238)
Taat Hanya dalam Perkara yang Selain Dosa dan Maksiat
Sa’d bin Abi Waqqash z menyebutkan bahwa telah turun beberapa ayat
Al-Qur`an yang berkaitan dengan dirinya. Ia berkisah bahwa Ummu Sa’d
(yakni ibunya) bersumpah tidak akan mengajaknya bicara selama-lamanya
sampai ia mau meninggalkan agama Islam. Dia juga bersumpah tidak akan
makan dan minum. Si ibu berkata, “Engkau mengaku bahwa Allah l
mewasiatkanmu untuk berbakti kepada kedua orangtuamu. Sementara aku
adalah ibumu dan aku memerintahkanmu untuk meninggalkan agama baru yang
engkau anut.” Sa’d berkata, “Ibuku melewati tiga hari dengan
melaksanakan sumpahnya untuk tidak makan dan minum, hingga ia jatuh
pingsan karena kepayahan yang dideritanya. Maka bangkitlah putranya yang
bernama Umarah lalu memberinya minum. Mulailah si ibu mendoakan
kejelekan untuk Sa’d. Allah k pun menurunkan dalam Al-Qur`an, ayat
berikut:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada kedua orangtuanya.” (Al-’Ankabut: 8)
“Namun bila keduanya memaksamu untuk menyekutukan Aku….”
Dalam ayat tersebut dinyatakan:
“Maka janganlah engkau menaati keduanya dan bergaullah kepada
keduanya di dunia dengan ma’ruf.” (Luqman: 15) (HR. Muslim no. 6188)
Rasulullah n bersabda:
لاَ طَاعَةَ فِي الْمَعْصِيَةِ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوْفِ
“Tidak ada ketaatan dalam perkara maksiat. Hanyalah ketaatan itu
dalam perkara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 7257 dan Muslim no.
4742)
Bolehnya Menyambung Hubungan dengan Ibu yang Musyrik
Dibolehkan bagi seorang anak untuk tetap menjaga hubungan baik
dengan ibunya yang berbeda agama dengannya alias kafir. Karena Allah k
berfirman:
“Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula
mengusir kalian dari negeri kalian. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kalian
menjadikan sebagai kawan kalian orang-orang yang memerangi kalian karena
agama, mengusir kalian dari negeri kalian, dan membantu orang lain
untuk mengusir kalian. Dan barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai
kawan maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Al-Mumtahanah: 8-9)
Asma bintu Abi Bakr Ash-Shiddiq c berkata:
قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّيْ وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ
اللهِ n فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ n قُلْتُ: إِنَّ أُمِّي قَدِمَتْ
وَهِيَ رَاغِبَةٌ، أَفَأَصِلُ أُمِّي؟ قَالَ: نَعَمْ، صِلِيْ أُمَّكِ
“Ibuku datang menemuiku dalam keadaan ia masih musyrikah di masa
perjanjian Rasulullah n (dengan kafir Quraisy). Aku pun meminta fatwa
kepada Rasulullah n. Aku berkata, “Ibuku datang menemuiku untuk meminta
baktiku kepadanya dalam keadaan mengharap kebaikan putrinya. Apakah aku
boleh menyambung hubungan dengan ibuku?” Rasulullah n menjawab, “Iya,
sambunglah hubungan dengan ibumu.” (HR. Al-Bukhari no. 2620 dan Muslim
no. 2322)
Lalu bila timbul pertanyaan, bagaimana dengan ayat Allah k yang menyatakan:
“Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah
dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang
Allah dan rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (Al-Mujadilah:
22)
Juga ayat:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan
bapak-bapak dan saudara-saudara kalian sebagai kekasih, jika mereka
lebih mencintai/mengutamakan kekafiran daripada keimanan. Dan siapa di
antara kalian yang berloyalitas dengan mereka maka mereka itulah
orang-orang yang zalim.” (At-Taubah: 23)
Maka dijawab, bahwa berbuat baik dan menyambung hubungan tidak
mengharuskan adanya rasa saling cinta. Al-Imam Asy-Syafi’i t berkata
dalam tafsir ayat-ayat ahkam sebagaimana dinukil oleh ‘Athiyyah Muhammad
Salim dalam kitab pelengkap (Titimmah) Adhwa`ul Bayan (8/154),
“Menyambung hubungan dengan memberikan harta, berbuat baik, berlaku
adil, berbicara lembut dan surat-menyurat, dengan hukum Allah l tidaklah
termasuk loyalitas yang terlarang bagi kaum muslimin terhadap orang
yang tidak boleh mereka berikan sikap wala` (loyalitas) karena
permusuhannya dengan kaum muslimin. Berlaku baik dan adil seperti itu
dibolehkan Allah k dan tidak haram untuk dilakukan kepada orang-orang
musyrikin yang tidak memusuhi kaum muslimin. Bahkan Allah l menyebutkan
tentang orang-orang yang menampakkan permusuhan kepada kaum muslimin,
kepada mereka ini kita dilarang untuk berloyalitas apabila bentuk
loyalitas tersebut selain berbuat baik dan bersikap adil….”
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata, “Kemudian berbakti, menyambung
hubungan dan berbuat baik tidaklah mengharuskan saling cinta dan
sayang-menyayangi yang dilarang dalam firman-Nya: ‘Engkau tidak akan
mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling
berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan rasul-Nya….’
Karena ayat ini umum mencakup diri orang yang memerangi dan orang yang
tidak memerangi.” (Fathul Bari)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah n menjawab:
أُمُّكَ، ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أُمُّكَ، ثُمَّ أَبُوْكَ، ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْناَكَ
“Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian ayahmu. Kemudian
kerabat yang paling dekat denganmu, dan yang paling dekat denganmu.”
(HR. Muslim no. 6448)
2 Kata Al-Imam An-Nawawi t, “Hadits Uwais ini menunjukkan keutamaan berbakti kepada kedua orangtua….” (Al-Minhaj, 16/312)
0 komentar:
Posting Komentar