MASOHI, KOMPAS.com — Komunitas adat Noaulu yang selama ini mendiami wilayah hutan di Kabupaten Maluku Tengah menyambut positif rencana pemindahan ibu kota Provinsi Maluku dari Ambon, ke Makariki di kabupaten tersebut. Namun, suku asli Pulau Seram ini merasa keberatan jika tanah mereka harus dihibahkan untuk area pembangunan ibu kota.
Keberatan ini disampaikan tokoh masyarakat adat Noaulu, Tuale Matoke, menyusul adanya pernyataan Raja (kepala desa) Sepa, Abdullah Rauf Amahoru, saat pencanangan ibu kota Provinsi Maluku ke Makariki, 14 September lalu. Saat itu, Rauf menyatakan Desa Sepa dan petuanannya telah bersepakat untuk menyerahkan sebagian tanah adatnya untuk area pembangunan ibu kota seluas 110 hektar. Total luas lahan yang rencananya dijadikan sebagai lokasi ibu kota Maluku ke depan tersebut adalah 307 hektar.
“Penyerahan tanah itu seharusnya dilakukan bersama perwakilan masyarakat adat Noaulu, karena secara adat Raja Sepa mengakui tanah itu sebagai tanah petuanan, berarti dengan sendirinya ia mengakui itu milik orang Noaulu. Secara pemerintahan kita memang di bawah Sepa, tetapi secara adat itu milik Noaulu,” tegas Tuale kepada wartawan di Masohi, Selasa (17/9/2013).
Menurutnya, secara administratif, sebagian perkampungan Noaulu berada di bawah pemerintahan Negeri (Desa) Sepa, tetapi secara adat tidak, termasuk wilayah adat suku Noaulu. Oleh karena itu, penyerahan tanah untuk ibu kota Provinsi Maluku tanpa melibatkan perwakilan masyarakat adat Noaulu, sama dengan tidak mengakui sejarah dan entitas suku Noaulu sebagai komunitas adat yang telah ada sejak lama di Pulau Seram.
Lanjut Tuale, sebelum pencanangan dilakukan, telah ada beberapa pertemuan dalam rangka membahas lokasi ibu kota Provinsi Maluku ke depan. Namun, dalam proses itu, perwakilan masyarakat adat Noaulu sama sekali tidak pernah dilibatkan, misalnya saat pertemuan di kantor Bupati Maluku Tengah pada 31 Agustus 2013 dengan Sekda Maluku.
“Prinsipnya kami mendukung rencana pemindahan ibu kota Provinsi Maluku ke tanah Seram. Hanya saja proses yang terjadi selama ini, kami merasa dikesampingkan sehingga kami merasa perlu mengingatkan soal sejarah dan meminta adanya pengakuan kepada kami selaku komunitas masyarakat adat, termasuk pengakuan atas tanah leluhur kami," tegasnya.
Populasi orang Noaulu saat ini mencapai lebih dari 3.000 jiwa. Mereka tersebar di sejumlah lokasi di selatan hingga wilayah tengah Pulau Seram, yakni di Nua Nea, Bonara, Latane (Kampung Lama), Hahuwalan, Simalouw, Rohua, Rohua Warmanesi, Hatuhenu (Nusatauwe), dan Tawane-Waene. Dari perkampungan adat Noaulu tersebut, baru Nua Nea yang telah dimekarkan oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah, menjadi negeri definitif pada 18 Februari 2012.
View the original article here
0 komentar:
Posting Komentar