Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 040
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi)‘Bernyanyi’ tanpa alat musik memang pernah dilakukan para sahabat. Namun apa yang mereka praktikkan amat berbeda dengan cara bernyanyi di masa sekarang.
Pada asalnya, nyanyian itu berasal dari lantunan bait-bait syair
yang menerangkan tentang sesuatu. Sehingga tidak benar jika kita
menyebutkan bahwa nyanyian itu haram secara mutlak, tidak pula
dinyatakan boleh secara mutlak. Oleh karenanya, Nabi n bersabda:
إِنَّ مِنَ الشِّعْرِ حِكْمَةً
“Sesungguhnya di antara syair ada hikmahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5793)
Rasulullah n bersabda tatkala ditanya tentang syair: “Itu adalah
ucapan. Yang baiknya adalah baik dan yang jeleknya adalah jelek.” (HR.
Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dihasankan Al-Albani dalam
Ash-Shahihah, 1/447)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin t memberikan beberapa syarat bolehnya nyanyian/nasyid:
1. Bait-bait syairnya diperbolehkan dan bukan hal yang terlarang.
2. Tidak dilantunkan seperti lantunan nyanyian yang rendah dan hina.
3. Tidak dengan suara yang menimbulkan fitnah.
4. Tidak dijadikan sebagai kebiasaan siang dan malam.
5. Tidak menjadikannya sebagai satu-satunya nasihat untuk hatinya, sehingga memalingkannya dari nasihat Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Jika tidak terpenuhi salah satu dari syarat-syarat ini, maka
hendaklah ditinggalkan. (Kaset Nur ‘Alad Darb, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin,
no. 337, side A)
Oleh karena itu, para ulama membolehkan nyanyian orang-orang yang
berangkat haji di saat mereka menghibur perjalanan mereka, nyanyian
orang-orang yang berperang untuk memberi semangat jihad, nyanyian para
musafir, dan yang semisalnya. Namun mereka melantunkan bait syair
tersebut tidak dengan cara lantunan lagu yang biasanya disertai musik.
Asy-Syathibi t menjelaskan apa yang dahulu dilakukan mereka
(Al-I’tisham, 1/368): “Orang-orang Arab dahulu tidak mengenal cara
memperindah lantunan seperti apa yang dilakukan manusia pada hari ini.
Mereka melantunkan syair secara mutlak, tanpa mempelajari notasi yang
muncul setelahnya. Mereka melembutkan suara
dan memanjangkannya, sesuai kebiasaan kaum Arab yang ummi yang tidak
mengetahui alunan musik. Sehingga tidak menimbulkan keterlenaan dan
membuat bergoyang yang melenakan. Hal itu hanyalah sesuatu yang
membangkitkan semangat. Sebagaimana Abdullah bin Rawahah melantunkan
bait-bait syairnya di hadapan Rasul n, juga ketika kaum Anshar
melantunkannya ketika menggali galian Khandaq:
نَحْنُ الَّذِينَ بَايَعُوا مُحَمَّدًا
عَلىَ الْجِهَادِ مَا حَيِينَا أَبَدًا
Kamilah yang membai’at Muhammad
Untuk berjihad selamanya selama kami masih hidup
Lalu Nabi n menjawabnya:
اللَّهُمَّ لَا خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُ الْآخِرَةِ
فَاغْفِرْ لِلْأَنْصَارِ وَالْـمُهَاجِرَةِ
Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan akhirat
Ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin
(HR. Al-Bukhari no. 2680)
Perbedaan Rebana dan Genderang
Rebana (duf) adalah alat musik yang menyerupai genderang (thabl).
Hanya saja thabl adalah yang tertutup dengan kulit dari dua arah atau
dari satu arah. Sedangkan duf terbuat dari kayu yang ditutup dengan
kulit dari satu arah, terkadang pada lubang-lubang bagian pinggirnya
diberi sesuatu yang mengeluarkan bunyi gemerincing. (Al-Qaulur Rasyid fi
Hukmil Ma’azif wal Ghina` wan Nasyid, Abu Karimah hal. 19)
Menabuh Rebana Khusus bagi Wanita
Hadits-hadits tersebut di atas menjelaskan bahwa yang dibolehkan
memukul rebana adalah para wanita. Al-Hulaimi berkata dalam Syu’abul Iman
(4/283): “Memukul rebana tidak dihalalkan kecuali untuk para wanita,
sebab pada asalnya itu termasuk dari amalan mereka. Sungguh Rasulullah n
melaknat laki-laki yang menyerupai wanita.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Hadits-hadits yang kuat
menunjukkan diizinkannya untuk para wanita, dan tidak diqiyaskan kepada
para lelaki, berdasarkan keumuman larangan dari menyerupai para wanita.”
(Fathul Bari, 9/134)
Hadits Thala’al Badru
Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa tatkala Rasulullah n datang
ke Madinah, lalu anak-anak dan para wanita mendendangkan syair:
طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا مِنْ ثَنِيَّاتِ الْوَدَاعِ
وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا مَا دَعَا لِلهِ دَاعِ
Bulan purnama telah nampak di hadapan kami
dari Tsaniyyatul Wada’
Wajib bagi kami bersyukur
pada seorang penyeru yang berseru karena Allah
Ini adalah hadits yang lemah. Sanadnya mu’dhal, telah terjatuh tiga
atau lebih perawinya. Silahkan dilihat rincian bahasannya dalam
Silsilah Adh-Dha’ifah, karya Al-Albani (2/598), dan kitab At-Tahrim
(hal. 123).
Musik Sebagai Ringtone
Sebagian kaum muslimin juga tidak menyadari bahwa yang termasuk
musik adalah menjadikan nada dan lantunan musik serta lagu sebagai
ringtone (nada dering) di ponsel. Hal ini termasuk dalam keumuman
larangan musik yang telah kita bahas.
Sebagai gantinya, hendaklah menggunakan bunyi-bunyi yang tidak
mengandung unsur musik dan nyanyian, seperti suara burung, ayam
berkokok, atau yang semisalnya. Juga diperbolehkan menggunakan jenis bel
tertentu yang tidak menyerupai bel gereja, seperti bunyi kring kring
yang biasa terdapat di telepon rumah (zaman dahulu), atau yang
semisalnya yang tidak bernada musik. Wallahu a’lam. (lihat pembahasan
tentang bel dalam kitab Jilbab Al-Mar`ah Al-Muslimah, Al-Albani hal.
169)
Sumber: http://asysyariah.com/bernyanyi-tanpa-alat-musik.html
0 komentar:
Posting Komentar