Oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani
9. HUKUM KHUTBAH JUM’AT.
Sungguh telah diriwayatkan dalam riwayat yang shahih bahwa Nab Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan khutbah Jum’at sesuai dengan yang telah disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam rangkaian shalat Jum’at. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan di dalam Kitab-Nya yang mulia untuk bersegera di dalam mengingat-Nya, sedangkan khutbah termasuk dari mengingat Allah dan jika khutbah tersebut tidak sesuai dengan maksud untuk mengingat Allah, maka menjadi sunnah hukumnya dan bukan wajib.
Adapun jika khutbah dikatakan sebagai syarat shalat Jum’at, maka tidak demikian pengertiannya, karena kami belum pernah mendapatkan satu huruf pun di dalam as-Sunnah al-Muthahharah atau sebuah ungkapan yang mengandung arti wajibnya khutbah, apalagi syarat. Yang ada hanyalah perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikisahkan bahwa beliau pernah berkhutbah, dan di dalam khutbahnya itu beliau mengatakan ini dan itu, juga membaca surat ini dan itu. Maksimal semua riwayat itu menunjukkan bahwa khutbah sebelum shalat Jum’at hukumnya sunnah muakkadah, bukan wajib apalagi jika dikatakan sebagai syarat bagi shalat Jum’at. Untuk lebih jelas lagi bahwa prilaku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilaksanakan secara terus-menerus tidak berarti wajib akan tetapi sunnah yang diperkuat ditekankan (dianjurkan). Kesimpulannya bahwa khutbah sebelum shalat Jum’at hukumnya adalah sunnah yang ditekankan (mu-akkadah) dan merupakan syi’ar Islam yang tidak pernah ditinggalkan semenjak shalat tersebut disyari’atkan sampai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.” [1]
10. SIFAT KHUTBAH JUM’AT DAN HAL-HAL YANG PATUT DIKETAHUI DI DALAM-NYA.
Ketahuilah sesungguhnya khutbah yang disyari’at-kan adalah khutbah yang biasa dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallm yang di dalamnya mengandung targhib (motivasi) juga tarhib (peringatan) bagi manusia, sebenarnya inilah ruh khutbah yang disyari’atkan dalam khutbah.
Adapun syarat pembacaan alhamdulillaah, shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membaca beberapa ayat al-Qur-an adalah sesuatu yang keluar dari maksud utama dari disyari’atkannya khutbah, kalaupun hal itu secara kebetulan dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kesemuanya sama sekali bukan tujuan yang diwajibkan, tidak juga syarat yang wajib diwujudkan. Tidak diragukan bagi orang yang bersikap adil bahwa maksud utama dari khutbah tersebut adalah memberi-kan nasihat bukan yang diungkapkan sebelumnya berupa pembacaan alHamdulillah, dan shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sudah merupakan kebiasaan yang berlaku di kalangan Arab bahwa jika mereka berkhutbah sering mengawalinya dengan memuji Allah dan bershalawat kepada Rasul-Nya. Sungguh indah semua ini dan sangat bagus! Akan tetapi perlu diingat kembali bahwa semua ini bukanlah tujuan utama, akan tetapi yang dimaksud adalah nasihat setelahnya.
Nasihat yang ada di dalam khutbah adalah materi yang disampaikan di dalam khutbah itu sendiri, maka jika seorang khatib melakukannya, berarti dia telah menunaikan perbuatan yang masyru’ (disyari’atkan), hanya saja jika dia melengkapinya dengan memuji kepada Allah, membaca shalawat kepada Rasul-Nya, dan dengan membaca ayat-ayat al-Qur-an, maka sesungguhnya ia telah melakukan yang lebih sempurna. Adapun membatasi kewajiban atau syarat hanya dengan membaca alhamdulillaah dan dengan shalawat, kemudian menjadikan nasihat-nasihat agama yang ada di dalamnya sebagai perbuatan Sunnah, maka ia telah membalikkan fakta dan mengeluarkannya dari cara yang difahami para ulama.
Kesimpulan, sesungguhnya ruh khutbah adalah nasihat itu sendiri, baik diambil dari al-Qur-an atau yang lainnya. Dan demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengawali khutbahnya dengan memuji kepada Allah, membaca shalawat, [2] dengan membaca dua kalimat syahadat, membaca satu surat lengkap. Semua itu ditujukan untuk memberikan nasihat dengan al-Qur-an dan menyampaikan peringatan (larangan) semungkin-nya dengan tidak memfokuskan kepada satu surat saja.
Diriwayatkan dari Jabir bin 'Abdillah Radhiyallahu anhu, sesungguhnya beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا خَطَبَ احْمَرَّتْ عَيْنَاهُ وَعَلاَ صَوْتُهُ وَاشْتَدَّ غَضَبُهُ حَتَّـى كَأَنَّهُ مُنْذِرُ جَيْشٍ يَقُولُ صَبَّحَكُمْ وَمَسَّاكُمْ وَيَقُولُ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَـابُ اللهِ، وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
“Jika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah, maka kedua matanya memerah, suaranya keras (meninggi), kemarahan beliau memuncak sehingga ia bagaikan seorang komandan pasukan yang berkata, ‘Musuh kalian akan datang pada waktu pagi dan sore,’ kemudian beliau berkata, ‘Amma ba’du: Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejelek-jelek urusan adalah yang diada-adakan dan setiap perbuatan bid’ah adalah kesesatan.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim.
Di dalam riwayat lain:
كَانَتْ خُطْبَةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ يَحْمَدُ اللهَ وَيُثْنِـي عَلَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِ ذلِكَ وَقَدْ عَلاَ صَوْتُهُ.
“Adalah khutbah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada shalat Jum’at diawali dengan memuji kepada Allah, kemudian menyanjung-Nya yang dilanjutkan dengan (nasihatnya) dengan suaranya yang lantang.”
Di dalam riwayat lain dikatakan:
مَنْ يَـهْدِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُـضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ.
“Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, niscaya tidak ada yang dapat menyesatkannya dan barang-siapa yang disesatkan oleh-Nya, maka tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepadanya.” [3]
Sedangkan di dalam riwayat an-Nasa-i dari Jabir, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فيِ النَّارِ.
“Dan setiap kesesatan (tempatnya) Neraka.” [4]
Ini setelah sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
“Dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”
Yang dimaksud dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas adalah setiap orang yang melakukan bid’ah adalah sesat.
Bid’ah secara bahasa adalah perbuatan yang dilakukan tanpa contoh sebelumnya, maksudnya suatu perbuatan yang tidak ada contoh di dalam syari’at, baik dari al-Qur-an maupun as-Sunnah.
Hadits itu menunjukkan bahwa setiap bid’ah adalah kesesatan, dan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bukanlah ungkapan umum yang dikhususkan sebagaimana difahami oleh sebagian orang.
Di dalam hadits tersebut ada satu manfaat yang menunjukkan bahwa seorang khatib dianjurkan untuk berkhutbah dengan suara yang lantang, memperluas pembahasan dengan menggunakan bahasa yang singkat tapi padat, baik berupa targhib (motivasi) maupun tarhib (ancaman), juga anjuran untuk mengucapkan amma ba’du.
Yang nampak dari hadits tersebut bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu membawakan kalimat tersebut di dalam semua khutbahnya, itu semua dilakukan setelah memuji dan bersyahaadah, sebagaimana diisyaratkan di dalam riwayat yang lainnya. Di dalamnya juga ada isyarat bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengucapkan:
أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ...
“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan... dan seterusnya, di dalam semua khutbahnya. [5]
Telah shahih di dalam satu riwayat bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا تَشَهُّدٌ فَهِيَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ.
“Setiap khutbah yang dilakukan tanpa tasyah-hud bagaikan tangan yang terpotong.” [6]
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam khutbahnya mengajarkan kepada para Sahabat kaidah-kaidah dan hukum-hukum Islam, jika ada perintah dan larangan, maka beliau mengeluarkan perintah dan larangannya, sebagaimana beliau memerintahkan orang yang baru masuk ke dalam masjid untuk melakukan shalat dua raka’at, beliau mengingatkan rambu-rambu syari’at, mengingatkan Surga dan Neraka, sehingga beliau memerintahkan untuk bertakwa dan memberikan peringatan agar selalu menjaga diri dari murka-Nya, memberi motivasi untuk selalu melakukan perbuatan yang diridhai oleh-Nya, dan diriwayatkan pula bahwa beliau membaca ayat di dalamnya, diriwayatkan oleh Muslim:
كَانَتْ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُطْبَتَانِ يَجْلِسُ بَيْنَهُمَا يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيُذَكِّرُ النَّاسَ وَيُحَذِّرُ.
“Rasulullah dahulu biasa melakukan dua khutbah, duduk di antara keduanya, membaca al-Qur-an, mengingatkan manusia dan memberikan peringatan.”
Nampak dari sikap beliau yang selalu menjaga sesuatu yang disebutkan di dalam khutbah yang menunjukkan bahwa semuanya adalah wajib, karena perbuatannya adalah penjelas bagi sesuatu yang ber-sifat umum pada ayat dalam surat al-Jumu’ah, sedang-kan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلُّوا كَمَـا رَأَيْتُمُوْنِـيْ أُصَلِّي.
“Lakukanlah shalat sebagaimana kalian melihat-ku melakukannya.” [7]
Demikianlah pendapat yang dipegang oleh kalangan madzhab asy-Syafi'i, sebagian dari mereka berkata, “Sikap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selalu melakukannya merupakan dalil bahwa hukum hal tersebut wajib.”
Beliau berkata di dalam kitab al-Badrut Tamaam, “Inilah yang jelas bagi kami.” Wallaahu a’lam. [8]
[Disalin dari kitab Al-Ajwibah an-Naafi’ah ‘an As-aalah Lajnah Masjidil Jaami’ah, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, Edisi Indonesia APAKAH ADZAN PADA SHALAT JUM’AT SATU KALI ATAU DUA KALI? Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit PUSTAKA IBNU KATSIR - Bogor]
_______
Footnote
[1]. Komentar saya: Di dalam ungkapan beliau ini ada sedikit kontradiksi, dan jauh dari kebenaran yang perlu dijelaskan, maka saya katakan, “Di awal pembahasan beliau mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk bersegera mengingat-Nya, sedangkan khutbah masuk ke dalam kategori mengingat Allah, jika tidak dikatakan bahwa dzikir itu sendiri adalah khutbah.
Komentar saya: Jika demikian halnya, maka telah tetap adanya perintah untuk melakukan khutbah di dalam al-Qur-an, dengan demikian tidak butuh lagi terhadap dalil dari as-Sunnah yang mewajibkannya, perintah untuk bersegera mengandung arti kewajiban untuk melakukan khutbah itu sendiri adalah lebih utama, karena sesungguhnya bersegera merupakan media di dalam melakukannya, jika medianya saja sudah diwajibkan, maka objeknya pun tentu lebih wajib. Dalil ini merupakan dalil yang diungkapkan oleh penulis di dalam menetapkan wajibnya shalat 'Id. Diungkapkan di dalam riwayat yang shahih:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِالْخُرُوْجِ إِلَى صَلاَةِ الْعِيْدِ.
“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk keluar guna melaksanakan shalat 'Id.”
Penulis berkata (Shidiq Hasan Khan), “Perintah keluar mengandung arti perintah untuk melakukan shalat 'Id bagi orang yang tidak memiliki udzur, karena sesungguhnya keluar merupakan sarana, jika medianya diwajibkan, maka objeknya pun lebih diwajibkan.”
Komentar saya: Jika demikian, kenapa beliau tidak mengungkapkan dalil tersebut sebagaimana telah kami jelaskan? Saya kira penulis mencermati masalah ini di dalam kitabnya ar-Raudhah, karena dia sendiri mempertanyakannya dengan ungkapan seakan-akan ia merasakan hal itu (hal. 137), ia berkata, “Jika dikatakan bahwa ketika bersegera itu diwajibkan, maka khutbah itu sendiri lebih utama. Sesungguhnya bersegera itu bukan hanya untuk khutbah, akan tetapi untuk khutbah dan shalat. Bahkan yang lebih layak lagi adalah bersegera untuk shalat, maka tidak sempurnalah analogi pengutamaan bagi khutbah.”
Komentar saya: Ungkapan ini selain bertentangan dengan ungkapannya yang pertama kali bahwa dzikir itu sendiri adalah khutbah, maka sesungguhnya khutbah adalah di antara tujuan bersegera walaupun ada di bawah derajat shalat. Dengan landasan tersebut, jelaslah bahwa perintah untuk bersegera berdzikir senantiasa mencakup kewajiban berkhutbah. Dengan demikian, maka kita wajib mengembalikannya kepada perkataan beliau sebelumnya yang bunyinya “Jika bersegera itu diwajibkan, maka khutbah itu sendiri lebih utama.” Dan lemahlah jawaban yang beliau utarakan insya Allah Ta’aala.
Selain argumentasi di atas ada lagi jalan lain yang dijadikan landasan atas kewajiban berkhutbah, yaitu sesungguhnya prilaku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dilakukan secara terus-menerus dan sebagai penjelas bagi al-Qur-an atau hadits lain adalah merupakan dalil yang menunjukkan wajibnya perbuatan tersebut, cara berargumentasi seperti ini dikenal di kalangan ulama Ushul Fiqih, di antaranya penulis itu sendiri (Syaikh Shidiq Hasan Khan). Beliau telah berargumentasi dengan cara seperti ini di dalam menetapkan kewajiban masalah lain yang berhubungan dengan sifat khutbah dan bukan hukum khutbah itu sendiri! Setelah menuturkan bahwa Nabi Shallalllahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah guna mengajarkan para Sahabatnya kaidah-kaidah Islam, penulis (Syaikh Shidiq Hasan Khan) berkata, “Nampak dari sikap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selalu menjaga apa yang diungkapkan di dalam khutbah bahwa materi tersebut wajib hukumnya, karena sesungguhnya perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan penjelas bagi yang diungkapkan secara umum di dalam ayat al-Qur-an, juga ditegaskan dengan sabdanya:
صَلُّو كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّى.
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku melakukan shalat.”
Sumber: almanhaj.or.id/content/3285/slash/0/hukum-khutbah-jumat-sifat-khutbah-jumat-dan-hal-hal-yang-patut-diketahui-di-dalamnya/
0 komentar:
Posting Komentar