Siapa saja
yang hidup di akhir zaman, tidak lepas dari lantunan suara musik atau nyanyian.
Bahkan mungkin di antara kita –dulunya- adalah orang-orang yang sangat gandrung
terhadap lantunan suara seperti itu. Bahkan mendengar lantunan tersebut juga
sudah menjadi sarapan tiap harinya. Itulah yang juga terjadi pada sosok si
fulan. Hidupnya dulu tidaklah bisa lepas dari gitar dan musik.
Namun, sekarang hidupnya jauh berbeda. Setelah Allah mengenalkannya dengan Al
haq (penerang dari Al Qur’an dan As Sunnah), dia pun perlahan-lahan menjauhi berbagai
nyanyian. Alhamdulillah, dia pun mendapatkan ganti yang lebih baik yaitu
dengan kalamullah (Al Qur’an) yang semakin membuat dirinya
mencintai dan merindukan perjumpaan dengan Rabbnya.
Lalu, apa
yang menyebabkan hatinya bisa berpaling kepada kalamullah dan
meninggalkan nyanyian? Tentu saja, karena taufik Allah kemudian siraman ilmu.
Dengan ilmu syar’i yang dia dapati, hatinya mulai tergerak dan mulai sadarkan
diri. Dengan mengetahui dalil Al Qur’an dan Hadits yang
membicarakan bahaya lantunan yang melalaikan, dia pun mulai meninggalkannya
perlahan-lahan. Juga dengan bimbingan perkataan para ulama, dia semakin jelas
dengan hukum keharamannya.
Alangkah
baiknya jika kita melihat dalil-dalil yang dimaksudkan, beserta
perkataan para ulama masa silam mengenai hukum nyanyian karena
mungkin di antara kita ada yang masih gandrung dengannya. Maka, dengan
ditulisnya risalah ini, semoga Allah membuka hati kita dan memberi hidayah
kepada kita seperti yang didapatkan si fulan tadi. Allahumma a’in wa yassir
(Ya Allah, tolonglah dan mudahkanlah).
Beberapa
Ayat Al Qur’an yang Membicarakan “Nyanyian”
Pertama: Nyanyian dikatakan sebagai “lahwal hadits” (perkataan yang
tidak berguna)
Allah Ta’ala
berfirman,
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ وَإِذَا
تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ
فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan di
antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan
dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab
yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling
dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada
sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah padanya dengan azab yang
pedih.” (QS. Luqman: 6-7)
Ibnu Jarir
Ath Thabariy
-rahimahullah- dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa para pakar tafsir
berselisih pendapat apa yang dimaksud dengan لَهْوَ الْحَدِيثِ “lahwal
hadits” dalam ayat tersebut. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang
dimaksudkan adalah nyanyian dan mendengarkannya. Lalu setelah itu Ibnu
Jarir menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf mengenai tafsir
ayat tersebut. Di antaranya adalah dari Abu Ash Shobaa’ Al Bakri –rahimahullah-.
Beliau mengatakan bahwa dia mendengar Ibnu Mas’ud ditanya mengenai tafsir
ayat tersebut, lantas beliau –radhiyallahu ‘anhu- berkata,
الغِنَاءُ،
وَالَّذِي لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ، يُرَدِّدُهَا ثَلاَث َمَرَّاتٍ.
“Yang
dimaksud adalah nyanyian, demi Dzat yang tidak ada ilah (sesembahan) yang
berhak diibadahi selain Dia.” Beliau menyebutkan makna tersebut sebanyak tiga
kali.[1]
Penafsiran
senada disampaikan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah,
dan Qotadah. Dari Ibnu Abi Najih, Mujahid berkata bahwa
yang dimaksud lahwu hadits adalah bedug (genderang).[2]
Asy Syaukani dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Lahwal
hadits adalah segala sesuatu yang melalaikan seseorang dari berbuat baik.
Hal itu bisa berupa nyanyian, permainan, cerita-cerita bohong dan setiap
kemungkaran.” Lalu, Asy Syaukani menukil perkataan Al Qurtubhi
yang mengatakan bahwa tafsiran yang paling bagus untuk makna lahwal hadits
adalah nyanyian. Inilah pendapat para sahabat dan tabi’in.[3]
Jika ada
yang mengatakan,
“Penjelasan tadi kan hanya penafsiran sahabat, bagaimana mungkin bisa jadi
hujjah (dalil)?”
Maka, cukup
kami katakan bahwa tafsiran sahabat terhadap suatu ayat bisa menjadi hujjah,
bahkan bisa dianggap sama dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
(derajat marfu’). Simaklah perkataan Ibnul Qayyim setelah
menjelaskan penafsiran mengenai “lahwal hadits” di atas sebagai berikut,
“Al Hakim
Abu ‘Abdillah dalam kitab tafsirnya di Al Mustadrok mengatakan bahwa
seharusnya setiap orang yang haus terhadap ilmu mengetahui bahwa tafsiran
sahabat –yang mereka ini menyaksikan turunnya wahyu- menurut Bukhari dan
Muslim dianggap sebagai perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Di tempat lainnya, beliau mengatakan bahwa menurutnya, penafsiran sahabat
tentang suatu ayat sama statusnya dengan hadits marfu’ (yang sampai pada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Lalu, Ibnul Qayyim
mengatakan, “Walaupun itu adalah penafsiran sahabat, tetap penafsiran mereka
lebih didahulukan daripada penafsiran orang-orang sesudahnya. Alasannya,
mereka adalah umat yang paling mengerti tentang maksud dari ayat yang
diturunkan oleh Allah karena Al Qur’an turun di masa mereka hidup”.[4]
Jadi,
jelaslah bahwa pemaknaan لَهْوَ الْحَدِيثِ /lahwal hadits/
dengan nyanyian patut kita terima karena ini adalah perkataan sahabat
yang statusnya bisa sama dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua: Orang-orang yang bernyanyi disebut “saamiduun”
Allah Ta’ala
berfirman,
أَفَمِنْ
هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ , وَتَضْحَكُونَ وَلا تَبْكُونَ , وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ
, فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا
“Maka,
apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan
tidak menangis? Sedang kamu saamiduun? Maka, bersujudlah kepada
Allah dan sembahlah (Dia).” (QS. An Najm: 59-62)
Apa yang
dimaksud سَامِدُونَ /saamiduun/?
Menurut
salah satu pendapat, makna saamiduun adalah bernyanyi dan ini
berasal dari bahasa orang Yaman. Mereka biasa menyebut “ismud lanaa”
dan maksudnya adalah: “Bernyanyilah untuk kami”. Pendapat ini
diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas.[5]
‘Ikrimah mengatakan, “Mereka biasa
mendengarkan Al Qur’an, namun mereka malah bernyanyi. Kemudian turunlah ayat
ini (surat An Najm di atas).”[6]
Jadi, dalam
dua ayat ini teranglah bahwa mendengarkan “nyanyian” adalah suatu yang dicela
dalam Al Qur’an.
Perkataan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Mengenai Nyanyian
Hadits Pertama
Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa yang
menghalalkan khomr dengan selain namanya” sebuah riwayat dari Abu ‘Amir
atau Abu Malik Al Asy’ari telah menceritakan bahwa dia tidak berdusta,
lalu dia menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيَكُونَنَّ
مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ
وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ
عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ
فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ
الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Sungguh,
benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan
zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah
di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi
mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok
hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung
kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga
hari kiamat.”[7] Jika dikatakan menghalalkan musik, berarti musik
itu haram.
Hadits di
atas dinilai shahih oleh banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam Al Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim
dalam Ighatsatul Lahfan (1/259). Penilaian senada disampaikan An
Nawawi, Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy Syaukani
–rahimahumullah-.
Memang, ada
sebagian ulama semacam Ibnu Hazm dan orang-orang yang mengikuti pendapat
beliau sesudahnya seperti Al Ghozali yang menyatakan bahwa hadits di
atas memiliki cacat sehingga mereka pun menghalalkan musik. Alasannya,
mereka mengatakan bahwa sanad hadits ini munqothi’ (terputus) karena Al
Bukhari tidak memaushulkan sanadnya (menyambungkan sanadnya). Untuk
menyanggah hal ini, kami akan kemukakan 5 sanggahan sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah:
Pertama, Al Bukhari betul bertemu dengan Hisyam
bin ‘Ammar dan beliau betul mendengar langsung darinya. Jadi, jika Al
Bukhari mengatakan bahwa Hisyam berkata, itu sama saja dengan perkataan
Al Bukhari langsung dari Hisyam.
Kedua, jika Al Bukhari belum pernah
mendengar hadits itu dari Hisyam, tentu Al Bukhari tidak akan mengatakan dengan
lafazh jazm (tegas). Jika beliau mengatakan dengan lafazh jazm,
sudah pasti beliau mendengarnya langsung dari Hisyam. Inilah yang paling
mungkin, karena sangat banyak orang yang meriwayatkan (hadits) dari
Hisyam. Hisyam adalah guru yang sudah sangat masyhur. Adapun Al Bukhari adalah
hamba yang sangat tidak mungkin melakukan tadlis (kecurangan dalam
periwayatan).
Ketiga, Al Bukhari memasukkan hadits ini
dalam kitabnya yang disebut dengan kitab shahih, yang tentu saja
hal ini bisa dijadikan hujjah (dalil). Seandainya hadits tersebut
tidaklah shahih menurut Al Bukhari, lalu mengapa beliau memasukkan hadits
tersebut dalam kitab shahih?
Keempat, Al Bukhari membawakan hadits ini
secara mu’allaq (di bagian awal sanad ada yang terputus). Namun, di sini
beliau menggunakan lafazh jazm (pasti, seperti dengan kata qoola
yang artinya dia berkata) dan bukan tamridh (seperti dengan kata yurwa
atau yudzkaru, yang artinya telah diriwayatkan atau telah disebutkan).
Jadi, jika Al Bukhari mengatakan, “Qoola: qoola Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam [dia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, ...]”, maka itu sama saja beliau mengatakan hadits
tersebut disandarkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kelima, seandainya berbagai alasan di atas
kita buang, hadits ini tetaplah shahih dan bersambung karena
dilihat dari jalur lainnya, sebagaimana akan dilihat pada hadits
berikutnya.[8]
Hadits Kedua
Dari Abu
Malik Al Asy’ari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَشْرَبَنَّ
نَاسٌ مِنْ أُمَّتِى الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلَى
رُءُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَالْمُغَنِّيَاتِ يَخْسِفُ اللَّهُ بِهِمُ الأَرْضَ
وَيَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ
“Sungguh,
akan ada orang-orang dari umatku yang meminum khamr, mereka menamakannya dengan
selain namanya. Mereka dihibur dengan musik dan alunan suara biduanita. Allah
akan membenamkan mereka ke dalam bumi dan Dia akan mengubah bentuk mereka
menjadi kera dan babi.”[9]
Hadits Ketiga
Dari Nafi’
–bekas budak Ibnu ‘Umar-, beliau berkata,
عُمَرَ
سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ فِى
أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيقِ وَهُوَ يَقُولُ يَا نَافِعُ
أَتَسْمَعُ فَأَقُولُ نَعَمْ. قَالَ فَيَمْضِى حَتَّى قُلْتُ لاَ. قَالَ فَوَضَعَ
يَدَيْهِ وَأَعَادَ الرَّاحِلَةَ إِلَى الطَّرِيقِ وَقَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَسَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ
هَذَا
Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling
dari seorang pengembala, lalu beliau menyumbat kedua telinganya dengan kedua
jarinya. Kemudian beliau pindah ke jalan yang lain. Lalu Ibnu ‘Umar berkata,
“Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suara tadi?” Aku (Nafi’) berkata,
“Iya, aku masih mendengarnya.”
Kemudian,
Ibnu ‘Umar terus berjalan. Lalu, aku berkata, “Aku tidak mendengarnya lagi.”
Barulah
setelah itu Ibnu ‘Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke
jalan itu lalu berkata, “Beginilah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam ketika mendengar suara seruling dari seorang pengembala. Beliau
melakukannya seperti tadi.”[10]
Keterangan Hadits
Dari dua
hadits pertama, dijelaskan mengenai keadaan umat Islam nanti yang akan
menghalalkan musik,berarti sebenarnya musik itu haram kemudian ada yang
menganggap halal. Begitu pula pada hadits ketiga yang menceritakan kisah Ibnu
‘Umar bersama Nafi’. Ibnu ‘Umar mencontohkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam melakukan hal yang sama dengannya yaitu menjauhkan manusia dari
mendengar musik. Hal ini menunjukkan bahwa musik itu jelas-jelas terlarang.
Jika ada
yang mengatakan bahwa sebenarnya yang dilakukan Ibnu ‘Umar tadi hanya
menunjukkan bahwa itu adalah cara terbaik dalam mengalihkan manusia dari
mendengar suara nyanyian atau alat musik, namun tidak sampai menunjukkan
keharamannya, jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan Ahmad bin
Abdul Halim Al Haroni (julukan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) rahimahullah
berikut ini,
اللَّهُمَّ
إلَّا أَنْ يَكُونَ فِي سَمَاعِهِ ضَرَرٌ دِينِيٌّ لَا يَنْدَفِعُ إلَّا
بِالسَّدِّ
“Demi Allah,
bahkan mendengarkan nyanyian (atau alat musik) adalah bahaya yang mengerikan
pada agama seseorang, tidak ada cara lain selain dengan menutup jalan agar
tidak mendengarnya.”[11]
Kalam
Para Ulama Salaf Mengenai Nyanyian (Musik)
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian
menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.”
Al Qasim bin
Muhammad pernah
ditanya tentang nyanyian, lalu beliau menjawab, “Aku melarang nyanyian
padamu dan aku membenci jika engkau mendengarnya.” Lalu orang yang bertanya
tadi mengatakan, “Apakah nyanyian itu haram?” Al Qasim pun
mengatakan,”Wahai anak saudaraku, jika Allah telah memisahkan yang benar dan
yang keliru, lantas pada posisi mana Allah meletakkan ‘nyanyian’?”
‘Umar bin
‘Abdul Aziz pernah
menulis surat kepada guru yang mengajarkan anaknya, isinya adalah, ”Hendaklah
yang pertama kali diyakini oleh anak-anakku dari budi pekertimu adalah
kebencianmu pada nyanyian. Karena nyanyian itu berasal dari setan dan ujung
akhirnya adalah murka Allah. Aku mengetahui dari para ulama yang terpercaya
bahwa mendengarkan nyanyian dan alat musik serta gandrung padanya hanya akan
menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan rerumputan. Demi
Allah, menjaga diri dengan meninggalkan nyanyian sebenarnya lebih mudah bagi
orang yang memiliki kecerdasan daripada bercokolnya kemunafikan dalam hati.”
Fudhail bin
Iyadh mengatakan,
“Nyanyian adalah mantera-mantera zina.”
Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan
merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.”
Yazid bin Al
Walid mengatakan,
“Wahai anakku, hati-hatilah kalian dari mendengar nyanyian karena nyanyian
itu hanya akan mengobarkan hawa nafsu, menurunkan harga diri, bahkan nyanyian
itu bisa menggantikan minuman keras yang bisa membuatmu mabuk kepayang. …
Ketahuilah, nyanyian itu adalah pendorong seseorang untuk berbuat zina.”[12]
Empat
Ulama Madzhab Mencela Nyanyian
- Imam Abu Hanifah. Beliau membenci nyanyian dan menganggap mendengarnya sebagai suatu perbuatan dosa.[13]
- Imam Malik bin Anas. Beliau berkata, “Barangsiapa membeli budak lalu ternyata budak tersebut adalah seorang biduanita (penyanyi), maka hendaklah dia kembalikan budak tadi karena terdapat ‘aib.”[14]
- Imam Asy Syafi’i. Beliau berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.”[15]
- Imam Ahmad bin Hambal. Beliau berkata, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati dan aku pun tidak menyukainya.”[16]
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai
haramnya alat musik.”[17]
Bila
Engkau Sudah Tersibukkan dengan Nyanyian dan Nasyid
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah memberikan
pelajaran yang sangat berharga. Beliau mengatakan,
“Seorang
hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak disyari’atkan,
dia pasti akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan
dan bermanfaat. Hal ini jauh berbeda dengan orang yang mencurahkan usahanya
untuk melakukan hal yang disyari’atkan. Pasti orang ini akan semakin cinta dan
semakin mendapatkan manfaat dengan melakukan amalan tersebut, agama dan
islamnya pun akan semakin sempurna.”
Lalu, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ”Oleh karena itu, banyak sekali orang
yang terbuai dengan nyanyian (atau syair-syair) yang tujuan semula adalah untuk
menata hati. Maka, pasti karena maksudnya, dia akan semakin berkurang
semangatnya dalam menyimak Al Qur’an. Bahkan sampai-sampai dia pun membenci
untuk mendengarnya.”[18]
Jadi,
perkataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (yang dijuluki Syaikhul Islam)
memang betul-betul terjadi pada orang-orang yang sudah begitu gandrung dengan
nyanyian, gitar dan bahkan dengan nyanyian “Islami” (yang disebut nasyid). Tujuan
mereka mungkin adalah untuk menata hati. Namun, sayang seribu sayang, jalan
yang ditempuh adalah jalan yang keliru karena hati mestilah ditata dengan
hal-hal yang masyru’ (disyariatkan) dan bukan dengan hal-hal yang tidak masyru’,
yang membuat kita sibuk dan lalai dari kalam Robbul ‘alamin yaitu Al
Qur’an.
Tentang
nasyid yang dikenal di kalangan sufiyah dan bait-bait sya’ir, Syaikhul
Islam mengatakan,
“Oleh karena
itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa
lepas dari nyanyian, mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara
Al Qur’an. Mereka pun tidak begitu senang ketika mendengarnya. Mereka tidak
akan merasakan kenikmatan tatkala mendengar Al Qur’an dibanding dengan
mendengar bait-bait sya’ir (nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al Qur’an,
hatinya pun menjadi lalai, begitu pula dengan lisannya akan sering keliru.”[19]
Adapun
melatunkan bait-bait syair (alias nasyid) asalnya dibolehkan, namun tidak
berlaku secara mutlak. Melatunkan bait syair (nasyid) yang dibolehkan apabila
memenuhi beberapa syarat berikut:
- Bukan lantunan yang mendayu-dayu sebagaimana yang diperagakan oleh para wanita.
- Nasyid tersebut tidak sampai melalaikan dari mendengar Al Qur’an.
- Nasyid tersebut terlepas dari nada-nada yang dapat membuat orang yang mendengarnya menari dan berdansa.
- Tidak diiringi alat musik.
- Maksud mendengarkannya bukan mendengarkan nyanyian dan nadanya, namun tujuannya adalah untuk mendengar nasyid (bait syair).
- Diperbolehkan bagi wanita untuk memukul rebana pada acara-acara yang penuh kegembiraan dan masyru’ (disyariatkan) saja.[20]
- Maksud nasyid ini adalah untuk memberi dorongan semangat ketika keletihan atau ketika berjihad.
- Tidak sampai melalaikan dari yang wajib atau melarang dari kewajiban.[21]
Penutup
Kami hanya
ingin mengingatkan bahwa pengganti nyanyian dan musik adalah Al Qur’an. Dengan
membaca, merenungi, dan mendengarkan lantunan Al-Qur’anlah hati kita akan hidup
dan tertata karena inilah yang disyari’atkan.
Ingatlah
bahwa Al Qur’an dan musik sama sekali tidak bisa bersatu dalam satu hati. Kita
bisa memperhatikan perkataan murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul
Qayyim rahimahullah. Beliau mengatakan, “Sungguh nyanyian dapat
memalingkan hati seseorang dari memahami, merenungkan dan mengamalkan isi Al
Qur’an. Ingatlah, Al Qur’an dan nyanyian selamanya tidaklah mungkin bersatu
dalam satu hati karena keduanya itu saling bertolak belakang. Al Quran
melarang kita untuk mengikuti hawa nafsu, Al Qur’an memerintahkan kita untuk
menjaga kehormatan diri dan menjauhi berbagai bentuk syahwat yang menggoda
jiwa. Al Qur’an memerintahkan untuk menjauhi sebab-sebab seseorang melenceng
dari kebenaran dan melarang mengikuti langkah-langkah setan. Sedangkan nyanyian
memerintahkan pada hal-hal yang kontra (berlawanan) dengan hal-hal tadi.”[22]
Dari sini,
pantaskah Al Qur’an ditinggalkan hanya karena terbuai dengan nyanyian?
Ingatlah, jika seseorang meninggalkan musik dan nyanyian, pasti Allah akan
memberi ganti dengan yang lebih baik.
إِنَّكَ لَنْ
تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ
خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
“Sesungguhnya
jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti
padamu dengan sesuatu yang lebih baik.”[23]
Tatkala
Allah memerintahkan pada sesuatu dan melarang dari sesuatu pasti ada maslahat
dan manfaat di balik itu semua. Sibukkanlah diri dengan mengkaji ilmu
dan mentadaburri Al Quran, niscaya perlahan-lahan perkara yang tidak manfaat
semacam nyanyian akan ditinggalkan. Semoga Allah membuka hati dan memberi
hidayah bagi setiap orang yang membaca risalah ini.
Washallallahu
‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in. Walhamdulillahi
robbil ‘alamin.
***
Disempurnakan
di Pangukan-Sleman, 16 Rabi’ul Awwal 1431 H (02/03/2010)
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat Jami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ibnu
Jarir Ath Thobari, 20/127, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[2] Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 5/105, Mawqi’ At
Tafasir.
[3] Lihat Fathul Qadir, Asy Syaukani, 5/483,
Mawqi’ At Tafasir.
[4] Lihat Ighatsatul Lahfan min Masho-idisy
Syaithon, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/240, Darul Ma’rifah, Beirut, cetakan
kedua, 1395 H
[5] Lihat Zaadul Masiir, 5/448.
[6] Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/258.
[7] Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq
dengan lafazh jazm/ tegas.
[8] Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/259-260.
[9] HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[11] Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al
Haroini, 11/567, Darul Wafa’, cetakan ketiga, tahun 1426 H.
[12] Lihat Talbis Iblis, Ibnul Jauzi, hal. 289,
Darul Kutub Al ‘Arobi, cetakan pertama, 1405 H
[13] Lihat Talbis Iblis, 282.
[14] Lihat Talbis Iblis, 284.
[15] Lihat Talbis Iblis, 283.
[16] Lihat Talbis Iblis, 280.
[17] Majmu’ Al Fatawa, 11/576-577.
[18] Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim li
Mukholafati Ash-haabil Jahiim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tahqiq &
Ta’liq: Dr. Nashir ‘Abdul Karim Al ‘Aql, 1/543, Wizarotusy Syu’un Al Islamiyah,
cetakan ketujuh, tahun 1419 H
[19] Majmu’ Al Fatawa, 11/567.
[20] Seperti terdapat riwayat dari ‘Umar bahwa
beliau membolehkan memukul rebana (ad-duf) pada acara nikah dan khitan. Dan ini
adalah pengkhususan dari dalil umum yang melarang alat musik. Sehingga tidak
tepat jika rebana ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan alat musik yang lain.
(Lihat An Nur Al Kaasyif fii Bayaani Hukmil Ghina wal Ma’azif, hal. 61,
Asy Syamilah)
[21] Lihat An Nur Al Kaasyif fii Bayaani Hukmil
Ghina wal Ma’azif, hal. 44-45, Asy Syamilah.
Sumber: http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/saatnya-meninggalkan-musik.html
0 komentar:
Posting Komentar