Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 040
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi)Kontroversi tentang musik seakan tak pernah berakhir. Baik yang pro maupun kontra masing-masing menggunakan dalil. Namun bagaimana para sahabat, tabi’in, dan ulama salaf memandang serta mendudukkan perkara ini? Sudah saatnya kita mengakhiri kontroversi ini dengan merujuk kepada mereka.
Musik dan nyanyian, merupakan suatu media yang dijadikan sebagai
alat penghibur oleh hampir setiap kalangan di zaman kita sekarang ini.
Hampir tidak kita dapati satu ruang pun yang kosong dari musik dan
nyanyian. Baik di rumah, di kantor, di warung dan toko-toko, di bus,
angkutan kota ataupun mobil pribadi, di tempat-tempat umum, serta rumah
sakit. Bahkan di sebagian tempat yang dikenal sebagai sebaik-baik tempat
di muka bumi, yaitu masjid, juga tak luput dari pengaruh musik.
Merebaknya musik dan lagu ini disebabkan banyak dari kaum muslimin
tidak mengerti dan tidak mengetahui hukumnya dalam pandangan Al-Qur`an
dan As-Sunnah. Mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang mubah, halal,
bahkan menjadi konsumsi setiap kali mereka membutuhkannya. Jika ada yang
menasihati mereka dan mengatakan bahwa musik itu hukumnya haram, serta
merta diapun dituduh dengan berbagai macam tuduhan: sesat, agama baru,
ekstrem, dan segudang tuduhan lainnya.
Namun bukan berarti, tatkala seseorang mendapat kecaman dari
berbagai pihak karena menyuarakan kebenaran, lantas menjadikan dia
bungkam. Kebenaran harus disuarakan, kebatilan harus ditampakkan.
Rasulullah n bersabda:
لاَ يَمْنَعَنَّ أَحَدَكُمْ هَيْبَةُ النَّاسِ أَنْ يَقُولَ في حَقٍّ إِذَا رَآهُ أَوْ شَهِدَهُ أَوْ سَمِعَهُ
“Janganlah rasa segan salah seorang kalian kepada manusia,
menghalanginya untuk mengucapkan kebenaran jika melihatnya,
menyaksikannya, atau mendengarnya.” (HR. Ahmad, 3/50, At-Tirmidzi, no.
2191, Ibnu Majah no. 4007. Dishahihkan oleh Al-Albani t dalam Silsilah
Ash-Shahihah, 1/322)
Terlebih lagi, jika permasalahan yang sebenarnya dalam timbangan
Al-Qur`an dan As-Sunnah adalah perkara yang telah jelas. Hanya saja
semakin terkaburkan karena ada orang yang dianggap sebagai tokoh Islam
berpendapat bahwa hal itu boleh-boleh saja, serta menganggapnya halal
untuk dikonsumsi kaum muslimin. Di antara mereka, adalah Yusuf
Al-Qaradhawi dalam kitabnya Al-Halal wal Haram, Muhammad Abu Zahrah,
Muhammad Al-Ghazali Al-Mishri, dan yang lainnya dari kalangan
rasionalis. Mereka menjadikan kesalahan Ibnu Hazm t sebagai tameng untuk
membenarkan penyimpangan tersebut.
Oleh karenanya, berikut ini kami akan menjelaskan tentang hukum
musik, lagu dan nasyid, berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah n,
serta perkataan para ulama salaf.
Definisi Musik
Musik dalam bahasa Arab disebut ma’azif, yang berasal dari kata
‘azafa yang berarti berpaling. Kalau dikatakan: Si fulan berazaf dari
sesuatu, maknanya adalah berpaling dari sesuatu. Jika dikatakan
laki-laki yang ‘azuf dari yang melalaikan, artinya yang berpaling
darinya. Bila dikatakan laki-laki yang ‘azuf dari para wanita artinya
adalah yang tidak senang kepada mereka.
Ma’azif adalah jamak dari mi’zaf (مِعْزَفٌ), dan disebut juga
‘azfun (عَزْفٌ). Mi’zaf adalah sejenis alat musik yang dipakai oleh
penduduk Yaman dan selainnya, terbuat dari kayu dan dijadikan sebagai
alat musik. Al-‘Azif adalah orang yang bermain dengannya.
Al-Laits t berkata: “Al-ma’azif adalah alat-alat musik yang
dipukul.” Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata: “Al-ma’azif adalah alat-alat
musik.” Al-Qurthubi t meriwayatkan dari Al-Jauhari bahwa al-ma’azif
adalah nyanyian. Yang terdapat dalam Shihah-nya bahwa yang dimaksud
adalah alat-alat musik. Ada pula yang mengatakan maknanya adalah
suara-suara yang melalaikan. Ad-Dimyathi berkata: “Al-ma’azif adalah
genderang dan yang lainnya berupa sesuatu yang dipukul.” (lihat Tahdzib
Al-Lughah, 2/86, Mukhtarush Shihah, hal. 181, Fathul Bari, 10/57)
Al-Imam Adz-Dzahabi t berkata: “Al-ma’azif adalah nama bagi setiap
alat musik yang dimainkan, seperti seruling, gitar, dan klarinet
(sejenis seruling), serta simba.” (Siyar A’lam An-Nubala`, 21/158)
Ibnul Qayyim t berkata bahwa al-ma’azif adalah seluruh jenis alat
musik, dan tidak ada perselisihan ahli bahasa dalam hal ini. (Ighatsatul
Lahafan, 1/260-261)
Mengenal Macam-Macam Alat Musik
Alat-alat musik banyak macamnya. Namun dapat kita klasifikasi alat-alat tersebut ke dalam empat kelompok:
Pertama: Alat-alat musik yang diketuk atau dipukul (perkusi).
Yaitu jenis alat musik yang mengeluarkan suara saat digoncangkan,
atau dipukul dengan alat tabuh tertentu, (misal: semacam palu pada
gamelan, ed.), tongkat (stik), tangan kosong, atau dengan menggesekkan
sebagiannya kepada sebagian lainnya, serta yang lainnya. Alat musik
jenis ini memiliki beragam bentuk, di antaranya seperti: gendang, kubah
(gendang yang mirip seperti jam pasir), drum, mariba, dan yang lainnya.
Kedua: Alat musik yang ditiup.
Yaitu alat yang dapat mengeluarkan suara dengan cara ditiup padanya
atau pada sebagiannya, baik peniupan tersebut pada lubang, selembar
bulu, atau yang lainnya. Termasuk jenis ini adalah alat yang
mengeluarkan bunyi yang berirama dengan memainkan jari-jemari pada
bagian lubangnya. Jenis ini juga beraneka ragam, di antaranya seperti
qanun dan qitsar (sejenis seruling).
Ketiga: Alat musik yang dipetik.
Yaitu alat musik yang menimbulkan suara dengan adanya gerakan
berulang atau bergetar (resonansi), atau yang semisalnya. Lalu
mengeluarkan bunyi saat dawai/senar dipetik dengan kekuatan tertentu
menggunakan jari-jemari. Terjadi juga perbedaan irama yang muncul
tergantung kerasnya petikan, dan cepat atau lambatnya gerakan/getaran
yang terjadi. Di antaranya seperti gitar, kecapi, dan yang lainnya.
Keempat: Alat musik otomatis.
Yaitu alat musik yang mengeluarkan bunyi musik dan irama dari jenis
alat elektronik tertentu, baik dengan cara langsung mengeluarkan irama,
atau dengan cara merekam dan menyimpannya dalam program yang telah
tersedia, dalam bentuk kaset, CD, atau yang semisalnya. (Lihat risalah
Hukmu ‘Azfil Musiqa wa Sama’iha, oleh Dr. Sa’d bin Mathar Al-‘Utaibi)
Dalil-Dalil tentang Haramnya Musik dan Lagu
Dalil dari Al-Qur`an Al-Karim
1. Firman Allah k:
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan
yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan
memperoleh adzab yang menghinakan.” (Luqman: 6)
Ayat Allah l ini telah ditafsirkan oleh para ulama salaf bahwa yang
dimaksud adalah nyanyian dan yang semisalnya. Di antara yang
menafsirkan ayat dengan tafsir ini adalah:
q Abdullah bin ‘Abbas c, beliau mengatakan tentang ayat ini: “Ayat
ini turun berkenaan tentang nyanyian dan yang semisalnya.” (Diriwayatkan
Al-Imam Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (no. 1265), Ibnu Abi Syaibah
(6/310), Ibnu Jarir dalam tafsirnya (21/40), Ibnu Abid Dunya dalam
Dzammul Malahi, Al-Baihaqi (10/221, 223), dan dishahihkan Al-Albani
dalam kitabnya Tahrim Alat Ath-Tharb (hal. 142-143)).
q Abdullah bin Mas’ud z, tatkala beliau ditanya tentang ayat ini,
beliau menjawab: “Itu adalah nyanyian, demi Allah yang tiada Ilah yang
haq disembah kecuali Dia.” Beliau mengulangi ucapannya tiga kali.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, Ibnu Abi Syaibah, Al-Hakim
(2/411), dan yang lainnya. Al-Hakim mengatakan: “Sanadnya shahih,” dan
disetujui Adz-Dzahabi. Juga dishahihkan oleh Al-Albani, lihat kitab
Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 143)
q ‘Ikrimah t. Syu’aib bin Yasar berkata: “Aku bertanya kepada
‘Ikrimah tentang makna (lahwul hadits) dalam ayat tersebut. Maka beliau
menjawab: ‘Nyanyian’.” (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Tarikh-nya
(2/2/217), Ibnu Jarir dalam tafsirnya, dan yang lainnya. Dihasankan
Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 143).
q Mujahid bin Jabr t. Beliau mengucapkan seperti apa yang dikatakan
oleh ‘Ikrimah. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 1167, 1179, Ibnu
Jarir, dan Ibnu Abid Dunya dari beberapa jalan yang sebagiannya
shahih).
Dan dalam riwayat Ibnu Jarir yang lain, dari jalan Ibnu Juraij,
dari Mujahid, tatkala beliau menjelaskan makna al-lahwu dalam ayat
tersebut, beliau berkata: “Genderang.” (Al-Albani berkata:
Perawi-perawinya tepercaya, maka riwayat ini shahih jika Ibnu Juraij
mendengarnya dari Mujahid. Lihat At-Tahrim hal. 144)
q Al-Hasan Al-Bashri t, beliau mengatakan: “Ayat ini turun berkenaan tentang nyanyian dan seruling.”
As-Suyuthi t menyebutkan atsar ini dalam Ad-Durrul Mantsur (5/159)
dan menyandarkannya kepada riwayat Ibnu Abi Hatim. Al-Albani berkata:
“Aku belum menemukan sanadnya sehingga aku bisa melihatnya.” (At-Tahrim
hal. 144)
Oleh karena itu, berkata Al-Wahidi dalam tafsirnya Al-Wasith
(3/441): “Kebanyakan ahli tafsir menyebutkan bahwa makna lahwul hadits
adalah nyanyian. Ahli ma’ani berkata: ‘Termasuk dalam hal ini adalah
semua orang yang memilih hal yang melalaikan, nyanyian, seruling, musik,
dan mendahulukannya daripada Al-Qur`an.”
2. Firman Allah k:
“Maka apakah kalian merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan
kalian menertawakan dan tidak menangis? Sedangkan kalian ber-sumud?”
(An-Najm: 59-61)
Para ulama menafsirkan “kalian bersumud” maknanya adalah bernyanyi. Termasuk yang menyebutkan tafsir ini adalah:
q Ibnu Abbas c. Beliau berkata: “Maknanya adalah nyanyian. Dahulu
jika mereka mendengar Al-Qur`an, maka mereka bernyanyi dan bermain-main.
Dan ini adalah bahasa penduduk Yaman (dalam riwayat lain: bahasa
penduduk Himyar).” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya
(27/82), Al-Baihaqi (10/223). Al-Haitsami berkata: “Diriwayatkan oleh
Al-Bazzar dan sanadnya shahih.” (Majma’ Az-Zawa`id, 7/116)
q ‘Ikrimah t. Beliau juga berkata: “Yang dimaksud adalah nyanyian,
menurut bahasa Himyar.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi
Syaibah, 6/121)
Ada pula yang menafsirkan ayat ini dengan makna berpaling, lalai,
dan yang semisalnya. Ibnul Qayyim t berkata: “Ini tidaklah bertentangan
dengan makna ayat sebagaimana telah disebutkan, bahwa yang dimaksud
sumud adalah lalai dan lupa dari sesuatu. Al-Mubarrid mengatakan: ‘Yaitu
tersibukkan dari sesuatu bersama mereka.’ Ibnul ‘Anbar mengatakan:
‘As-Samid artinya orang yang lalai, orang yang lupa, orang yang sombong,
dan orang yang berdiri.’ Ibnu ‘Abbas c berkata tentang ayat ini: ‘Yaitu
kalian menyombongkan diri.’ Adh-Dhahhak berkata: ‘Sombong dan congkak.’
Mujahid berkata: ‘Marah dan berpaling.’ Yang lainnya berkata: ‘Lalai,
luput, dan berpaling.’ Maka, nyanyian telah mengumpulkan semua itu dan
mengantarkan kepadanya.” (Ighatsatul Lahafan, 1/258)
3. Firman Allah lkepada Iblis:
“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan
suaramu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu
yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan
anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh
setan kepada mereka melainkan tipuan belaka.” (Al-Isra`: 64)
Telah diriwayatkan dari sebagian ahli tafsir bahwa yang dimaksud
“menghasung siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan suaramu”
adalah melalaikan mereka dengan nyanyian. Di antara yang menyebutkan hal
tersebut adalah:
q Mujahid t. Beliau berkata tentang makna “dengan suaramu”: “Yaitu melalaikannya dengan nyanyian.” (Tafsir Ath-Thabari)
Sebagian ahli tafsir ada yang menafsirkannya dengan makna ajakan
untuk bermaksiat kepada Allah k. Ibnu Jarir berkata: “Pendapat yang
paling benar dalam hal ini adalah bahwa Allah l telah mengatakan kepada
Iblis: ‘Dan hasunglah dari keturunan Adam siapa yang kamu sanggupi di
antara mereka dengan suaramu,’ dan Dia tidak mengkhususkan dengan suara
tertentu. Sehingga setiap suara yang dapat menjadi pendorong kepadanya,
kepada amalannya dan taat kepadanya, serta menyelisihi ajakan kepada
ketaatan kepada Allah l, maka termasuk dalam makna suara yang Allah l
maksudkan dalam firman-Nya.” (Tafsir Ath-Thabari)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata tatkala menjelaskan ayat
ini: “Sekelompok ulama salaf telah menafsirkannya dengan makna ‘suara
nyanyian’. Hal itu mencakup suara nyanyian tersebut dan berbagai jenis
suara lainnya yang menghalangi pelakunya untuk menjauh dari jalan Allah
k.” (Majmu’ Fatawa, 11/641-642)
Ibnul Qayyim t berkata: “Satu hal yang telah dimaklumi bahwa
nyanyian merupakan pendorong terbesar untuk melakukan kemaksiatan.”
(Ighatsatul Lahafan, 1/255)
Dalil-dalil dari As-Sunnah
1. Hadits Abu ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari z bahwa Rasulullah n bersabda:
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ
وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى
جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ يَأْتِيهِمْ يَعْنِي
الْفَقِيرَ لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا: ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا؛
فَيُبَيِّتُهُمْ اللهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً
وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Akan muncul di kalangan umatku, kaum-kaum yang menghalalkan zina,
sutera, khamr, dan alat-alat musik. Dan akan ada kaum yang menuju puncak
gunung kembali bersama ternak mereka, lalu ada orang miskin yang datang
kepada mereka meminta satu kebutuhan, lalu mereka mengatakan:
‘Kembalilah kepada kami besok.’ Lalu Allah k membinasakan mereka di
malam hari dan menghancurkan bukit tersebut. Dan Allah mengubah yang
lainnya menjadi kera-kera dan babi-babi, hingga hari kiamat.” (HR.
Al-Bukhari, 10/5590)
Hadits ini adalah hadits yang shahih. Apa yang Al-Bukhari sebutkan
dalam sanad hadits tersebut: “Hisyam bin Ammar berkata…”1 tidaklah
memudaratkan kesahihan hadits tersebut. Sebab Al-Imam Al-Bukhari t tidak
dikenal sebagai seorang mudallis (yang menggelapkan hadits), sehingga
hadits ini dihukumi bersambung sanadnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “(Tentang) alat-alat
(musik) yang melalaikan, telah shahih apa yang diriwayatkan oleh
Al-Bukhari t dalam Shahih-nya secara ta’liq dengan bentuk pasti (jazm),
yang masuk dalam syaratnya.” (Al-Istiqamah, 1/294, Tahrim Alat
Ath-Tharb, hal. 39. Lihat pula pembahasan lengkap tentang sanad hadits
ini dalam Silsilah Ash-Shahihah, Al-Albani, 1/91)
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata setelah menyebutkan panjang lebar
tentang keshahihan hadits ini dan membantah pendapat yang berusaha
melemahkannya: “Maka barangsiapa –setelah penjelasan ini– melemahkan
hadits ini, maka dia adalah orang yang sombong dan penentang. Dia
termasuk dalam sabda Nabi n:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
“Tidak masuk ke dalam surga, orang yang dalam hatinya ada kesombongan walaupun seberat semut.” (HR. Muslim) [At-Tahrim, hal. 39]
Makna hadits ini adalah akan muncul dari kalangan umat ini yang
menganggap halal hal-hal tersebut, padahal itu adalah perkara yang
haram. Al-‘Allamah ‘Ali Al-Qari berkata: “Maknanya adalah mereka
menganggap perkara-perkara ini sebagai sesuatu yang halal dengan
mendatangkan berbagai syubhat dan dalil-dalil yang lemah.” (Mirqatul
Mafatih, 5/106)
2. Hadits Anas bin Malik z, bahwa Rasulullah n bersabda:
صَوْتَانِ مَلْعُونَانِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ: مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ، وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيبَةٍ
“Dua suara yang terlaknat di dunia dan akhirat: seruling ketika mendapat nikmat, dan suara (jeritan) ketika musibah.”
(HR. Al-Bazzar dalam Musnad-nya, 1/377/755, Adh-Dhiya` Al-Maqdisi dalam
Al-Mukhtarah, 6/188/2200, dan dishahihkan oleh Al-Albani berdasarkan
penguat-penguat yang ada. Lihat Tahrim Alat Ath-Tharb, hal. 52)
Juga dikuatkan dengan riwayat Jabir bin Abdullah c, dari Abdurrahman bin ‘Auf z, dia berkata: Rasulullah n bersabda:
إِنَّمَا نُهِيْتُ عَنِ النَّوْحِ عَنْ صَوْتَيْنِ أَحْمَقَيْنِ
فَاجِرَيْنِ: صَوْتٍ عِنْدَ نَغْمَةِ لَهْوٍ وَلَعِبٍ وَمَزَامِيرِ
شَيْطَانٍ، وَصَوْتٍ عِنْدَ مُصِيبَةٍ خَمْشِ وُجُوهٍ وَشَقِّ جُيُوبٍ
وَرَنَّةِ شَيْطَانٍ
“Aku hanya dilarang dari meratap, dari dua suara yang bodoh dan
fajir: Suara ketika dendangan yang melalaikan dan permainan,
seruling-seruling setan, dan suara ketika musibah, mencakar wajah,
merobek baju dan suara setan.” (HR. Al-Hakim, 4/40, Al-Baihaqi, 4/69,
dan yang lainnya. Juga diriwayatkan At-Tirmidzi secara ringkas, no.
1005)
An-Nawawi t berkata tentang makna ‘suara setan’: “Yang dimaksud adalah nyanyian dan seruling.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4/75)
3. Hadits Abdullah bin ‘Abbas c, dia berkata: Rasulullah n telah bersabda:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيَّ -أَوْ حُرِّمَ الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْكُوبَةُ. قَالَ: وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Sesungguhnya Allah k telah mengharamkan atasku –atau– diharamkan
khamr, judi, dan al-kubah. Dan setiap yang memabukkan itu haram.” (HR.
Abu Dawud no. 3696, Ahmad, 1/274, Al-Baihaqi, 10/221, Abu Ya’la dalam
Musnad-nya no. 2729, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Ahmad Syakir dan
Al-Albani, lihat At-Tahrim hal. 56).
Kata al-kubah telah ditafsirkan oleh perawi hadits ini yang bernama
‘Ali bin Badzimah, bahwa yang dimaksud adalah gendang. (lihat riwayat
Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, no. 12598)
4. Hadits Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash c, bahwasanya Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ، وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Sesungguhnya Allah k mengharamkan khamr, judi, al-kubah (gendang),
dan al-ghubaira` (khamr yang terbuat dari bahan jagung), dan setiap
yang memabukkan itu haram.” (HR. Abu Dawud no. 3685, Ahmad, 2/158,
Al-Baihaqi, 10/221-222, dan yang lainnya. Hadits ini dihasankan
Al-Albani dalam Tahrim Alat Ath-Tharb hal. 58)
Atsar dari Ulama Salaf
1. Abdullah bin Mas’ud z berkata:
الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ
“Nyanyian itu menimbulkan kemunafikan dalam hati.” (Diriwayatkan
Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi, 4/2, Al-Baihaqi dari jalannya,
10/223, dan Syu’abul Iman, 4/5098-5099. Dishahihkan Al-Albani dalam
At-Tahrim hal. 10. Diriwayatkan juga secara marfu’, namun sanadnya
lemah)
2. Ishaq bin Thabba` t berkata: Aku bertanya kepada Malik bin Anas t
tentang sebagian penduduk Madinah yang membolehkan nyanyian. Maka
beliau mejawab: “Sesungguhnya menurut kami, orang-orang yang
melakukannya adalah orang yang fasiq.”
(Diriwayatkan Abu Bakr Al-Khallal dalam Al-Amru bil Ma’ruf: 32, dan
Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis hal. 244, dengan sanad yang shahih)
Beliau juga ditanya: “Orang yang memukul genderang dan berseruling,
lalu dia mendengarnya dan merasakan kenikmatan, baik di jalan atau di
majelis?”
Beliau menjawab: “Hendaklah dia berdiri (meninggalkan majelis) jika
ia merasa enak dengannya, kecuali jika ia duduk karena ada satu
kebutuhan, atau dia tidak bisa berdiri. Adapun kalau di jalan, maka
hendaklah dia mundur atau maju (hingga tidak mendengarnya).” (Al-Jami’,
Al-Qairawani, 262)
3. Al-Imam Al-Auza’i t berkata: ‘Umar bin Abdil ‘Aziz t menulis
sebuah surat kepada ‘Umar bin Walid yang isinya: “… Dan engkau yang
menyebarkan alat musik dan seruling, (itu) adalah perbuatan bid’ah dalam
Islam.” (Diriwayatkan An-Nasa`i, 2/178, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah,
5/270. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 120)
4. ‘Amr bin Syarahil Asy-Sya’bi t berkata: “Sesungguhnya nyanyian
itu menimbulkan kemunafikan dalam hati, seperti air yang menumbuhkan
tanaman. Dan sesungguhnya berdzikir menumbuhkan iman seperti air yang
menumbuhkan tanaman.” (Diriwayatkan Ibnu Nashr dalam Ta’zhim Qadr
Ash-Shalah, 2/636. Dihasankan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim, hal. 148)
Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abid Dunya (45), dari Al-Qasim bin
Salman, dari Asy-Sya’bi, dia berkata: “Semoga Allah k melaknat biduan
dan biduanita.” (Dishahihkan oleh Al-Albani dalam At-Tahrim hal. 13)
5. Ibrahim bin Al-Mundzir t –seorang tsiqah (tepercaya) yang
berasal dari Madinah, salah seorang guru Al-Imam Al-Bukhari t– ditanya:
“Apakah engkau membolehkan nyanyian?” Beliau menjawab: “Aku berlindung
kepada Allah k. Tidak ada yang melakukannya menurut kami kecuali
orang-orang fasiq.” (Diriwayatkan Al-Khallal dengan sanad yang shahih,
lihat At-Tahrim hal. 100)
6. Ibnul Jauzi t berkata: “Para tokoh dari murid-murid Al-Imam
Asy-Syafi’i t mengingkari nyanyian. Para pendahulu mereka, tidak
diketahui ada perselisihan di antara mereka. Sementara para pembesar
orang-orang belakangan, juga mengingkari hal tersebut. Di antara mereka
adalah Abuth Thayyib Ath-Thabari, yang memiliki kitab yang dikarang
khusus tentang tercela dan terlarangnya nyanyian.
Lalu beliau berkata: “Ini adalah ucapan para ulama Syafi’iyyah dan
orang yang taat di antara mereka. Sesungguhnya yang memberi keringanan
dalam hal tersebut dari mereka adalah orang-orang yang sedikit ilmunya
serta didominasi oleh hawa nafsunya. Para fuqaha dari sahabat kami (para
pengikut mazhab Hambali) menyatakan: ‘Tidak diterima persaksian seorang
biduan dan para penari.’ Wallahul muwaffiq.” (Talbis Iblis, hal.
283-284)
7. Ibnu Abdil Barr t berkata: “Termasuk hasil usaha yang disepakati
keharamannya adalah riba, upah para pelacur, sogokan (suap), mengambil
upah atas meratapi (mayit), nyanyian, perdukunan, mengaku mengetahui
perkara gaib dan berita langit, hasil seruling dan segala permainan
batil.” (Al-Kafi hal. 191)
8. Ath-Thabari t berkata: “Telah sepakat para ulama di berbagai
negeri tentang dibenci dan terlarangnya nyanyian.” (Tafsir Al-Qurthubi,
14/56)
9. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t berkata: “Mazhab empat imam
menyatakan bahwa alat-alat musik semuanya haram.” Lalu beliau
menyebutkan hadits riwayat Al-Bukhari t di atas. (Majmu’ Fatawa, 11/576)
Masih banyak lagi pernyataan para ulama yang menjelaskan tentang
haramnya musik beserta nyanyian. Semoga apa yang kami sebutkan ini sudah
cukup menjelaskan perkara ini.
Wallahu a’lam.
Sumber: http://asysyariah.com/haramnya-musik-dan-lagu.html
0 komentar:
Posting Komentar